Selasa, 27 Oktober 2020

Critical Review : Buku "Metodelogi Penelitian Politik" karya Lisa Harrison

 Critical Review : Buku Metodelogi Penelitian Politik

Identitas Reviewer

1. Nama : Septiadi 

2. NIM : 201186918017

3. Alamat : Jl. Remaja. Rt.06/01 No.11. Mampang, Pancoran Mas, Depok

4. Jurusan         : S2 Ilmu Politik / Kelas C Regular.

5. Matakuliah : Metodologi Penelitian

6. Dosen : DR. Asran Djalal

Data/Identitas Buku

1. Nama Pengarang : Lisa Harrison

2. Judul Buku : Metodologi Penelitian Politik

3. Bagian yang direview : Bagian Kedua: Analisis Kuantitatif

4. Penerbit : Prenada Media Group

5. Tahun Terbit : Cetakan pertama 2007, cetakan kedua 2009

6. Tempat Terbit : Jakarta


Pendahuluan

Cakupan studi ilmu politik sangat luas dan cair. Oleh karena itu dibutuhkan penentuan konsep, definisi atau teori yang benar-benar akurat agar dapat digunakan dalam metode penelitian politik. Alasannya agar apa yang menjadi sasaran penelitian menjadi terfokus.  Mary Grisez Kweit & Robert W. Kweit menjelaskan bahwa metode penelitian pengetahuan merupakan, sarana untuk mengumpulkan pengetahuan dan pengertian akan dunia empirik disekitar kita.  

Selain itu, J.J. M. Wuisman menjelaskan, metode penelitian ilmu pengetehuan merupakan jalan untuk menciptakan suatu kenyataan konseptual yang dapat dipakai untuk mengadakan pengujian melalui interpretasi.  

Metode penelitian politik merupakan usaha analisa untuk mendapatkan pengetahuan yang koheren secara logis dan memiliki basis empiris yang kuat dalamrangka mengembangkan penjelasan teori politik.

Tinjauan Buku

Sebelum lebih jauh mereview, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Pertama, mengapa kita perlu mengkuantifiksikan politik?. Kedua, apa saja yang harus dilakukan dalam kuantifikasi politik? Nah, pada bagian kedua buku ini, Lisa Harison menjelaskan penentuan konsep menjadi hal penting dalam membuat penilaian atas karakteristik politik. Selain itu metode apa yang cocok digunakan dalam penelitian politik? Sebagai contoh bagaimana kita bisa mengatakan satu  negara lebih demokratis dibanding negara lain. Oleh karena itu perlu menempatkan temuan yang dapat dikuantifikasikan. Yakni dengan melakukan pengukuran dalam analisa perilaku dan sikap politik. 

Tentunya dalam riset kuantitatif ini kita tidak bisa menghindar dari konsep dalam bentuk statistik dan angka. Oleh karena itu periset politik harus pandai menarasikan analisa yang dilakukannya. Bahasa penelitian ilmu politik merupakan istilah atau konsep yang bisa dipahami secara umum. Kuantifikasi merupakan konsep untuk menjelaskan dan mengatakan sesuatu fenomena tentang seberapa besar sifat yang dimiliki oleh masing-masing konsep, seberapa kuat sifat keterhubungannya.  

Periset politik telah banyak melakukan metode riset politik kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan proses penelitian masalah yang sudah diidentifikasi berdasarkan pada pengujian teori dengan pengukuran angka dan dianalisa dengan tehnik statistik (regresi). 

Dalam pendekatan kuatitatif dikenal dengan bahasa nominal, yakni informasi dikodekan dalam kategori saling berlawanan (diskresi). Bagaimana agar riset atau analisa dapat dikatakan benar, Lisa menjelaskan, ada beberapa yang menjadi pertimbangan, antara lain:

Pengukuran. 

Studi ilmu politik cenderung mengkaji sesuatu yang abstrak dan berkaitan dengan interaksi manusia. Periset politik harus lebih hati-hati dalam menentukan konsep yang akan diteliti. Sehingga konsep yang diajukan tidak memiliki banyak persepsi. Dalam hal ini, bisa difokuskan pada aktivitas politik manusia. Oleh karena itu dibutuhkan penentuan konsep yang jelas dan tegas. Misalkan konsep  preferensi pemilih atau pengangguran.  

Perbandingan. 

Bagaimana bisa melakukan perbandingan? Tentunya perlu menggunakan konsep angka atau statistik, seperti persentase. Penggunaan persentase akan memudahkan dalam menganalisa objek riset yang banyak jumlahnya. 

Kontrol Ketidakpastian. 

Untuk menghilangan kesan mubazir dalam riset diperlukan pemilahan data-data yang akan dipakai. Dalam dunia riset dikenal dengan data primer dan data sekunder. Perlu diingat yang menjadi objek penelitian politik adalah manusia, sehingga konsistensi perilaku manusia sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu data yang dimiliki periset (data primer) bisa dikombinasi dengan data sekunder (data milik orang lain). Menganalisa data yang dikumpulkan oleh pihak lain atau beberapa organisasi dinamakan data sekunder. Sebaliknya, analisis primer adalah analisis atas data yang dikumpulkan sendiri.  

Bahasa Analisis Kuantitatif

Pada pembahasan mengenai bahasa analisis kuantitatif, Lisa menjelaskan mengenai bahasa dalam analisis kuantitatif. Namun sebelum itu, Lisa telah membagi tipe atau jenis-jenis data yang digunakan dalam metode penelitian. Sehingga bahasa analisis yang digunakan agar tidak membingungkan. Perlu diingat, hasil studi ilmiah seharusnya lebih mudah dipahami, bukan membuat pusing atau ngejelimet.

Lebih lanjut, Lisa dalam buku ini menjelaskan, ada beberapa tingkatan dalam menentukan apakah data tersebut informatif, antara lain: Nominal; merupakan tipe data yang sangat mendasar. Informasi dikodekan dalam kategori saling meniadakan atau berlawanan. Ordinal; data ini berguna dalam melakukan perbandingan. Ordinal disebut sebagai data yang berurutan. Interval/Rasio; interval sering digambarkan sebagai level paling berguna, karena pada level data tersebut menunjukkan pula level jarak. 

Data interval dapat menghitung seberapa jauh jarak melalui skala, namun tidak memiliki absolut zero point. Sehingga tidak bisa membagi atau mengalikan sektor satu dengan lainnya. Akan tetapi data internal jarang digunakan dalam ilmu politik. Pada bagian kedua ini juga dibahas mengenai populasi dan sampel. Semakin banyak subjek, akan semakin sulit dipelajari. 

Persamalahan yang sering ditemukan periset adalah bagaimana menentukan area populasi yang menjadi studi penelitian. Karena area yang begitu luas, makanya diambil beberapa sample dari populasi untuk subjek penelitian tersebut. Hal tersebut dapat disebut pengambilan kerangka sampel/sampling frame.

Pengambilan kerangka sampel yang sifatnya jangka panjang, akurat dan bersifat representatif menjadi keniscayaan dalam penelitian ilmu politik. Setelah kerangka sampel telah diambil, barulah menentukan unit sampel yang menggambarkan kelompok terkecil dalam populasi. 

Ada dua pendekatan dalam pengambilan sampel, yakni sampel probabilistik dan non probabilistik. Ada beberapa pendekatan dalam pengambilan sampel probabilistik. Pertama, Random Sampling. Dalam pendekatan ini, anggota populasi memiliki peluang yang sama dan independen untuk dipilih. Meski terlihat mudah, namun akan sulit jika pada populasi yang besar.

Stratified Sampling. Pendekatan ini membagi populasi menjadi beberapa unit-unit dari hasil tehnik pengambilan acak. Cluster Sampling. Pendekatan ini barangkali satu-satunya yang dapat dipakai untuk mensurvei kelompok tertentu.  

Pengambilan Sampel Nonprobabilistik

Lisa menjelaskan, pendekatan ini menggunakan sampel yang memiliki karakteristik dengan pengambilan non acak (non probabilistik). Ada beberapa bentuk dari sampel non acak ini, yakni Quota Sampling, Convience Sampling, Velunteer Sampling, Snow Sampling dan Purposive Sampling. Mana yang lebih baik?. 

Tidak ada sampel yang ideal, namun bagaimana ketepatan, pengetahuan tentang populiasi dan sumber daya yang tersedia menjadi pertimbangan. Sampel yang mewakili mustahil didapatkan. Setiap karekateristik yang relevan dapat menjadikan sampel itu ideal.  

Validity dan Realibilty (Validitas dan Reabiltas)

Apakah data dapat dihandalkan (realible) atau valid? Pertanyaan ini sering dipertanyakan. Riset bisa dikatakan reliable jika kita mendapatkan hasil yang sama bekali-kali dalam riset yang dilakukan. Dan sebuah pengukuran dikatakan valid apabila dilakukan secara aktual. 

Lisa menekankan, beberapa pendekatan agar riset dapat dihandalkan. Stabilitas; metode uji ulang untuk mengukur preditabilitas jangka panjang. Konsistensi Internal; mengajukan pertanyaan yang sama untuk mengetahui konsistensi sikap. Realibilitas Lintas-Penilai; disebut sebagai double marking, yakni mengecek konsisten dengan menggunakan pendapat penilai. Suatu riset dikatakan reliabel jika temuannya bersifat konsisten. 

Apa penyebab riset kita unreliability? Hal ini disebabkan karena sumber yang bervariasi, kekeliruan acak, dan problem desain riset. Kesalahan reliabilitas bisa disebabkan oleh buruknya pertayaan yang disusun. Kebohongan dalam pengumpulan data juga membuat suatu riset tidak bisa dihandalkan. 

Riset bisa dikatakan valid, jika ada keterhubungan antara konsep dengan yang akan direfleksikan. Ada beberapa tipe validitas. Pertama,  Construct Validity. Berguna untuk mengukur hal-hal yang sifatnya abstrak, seperti kelas sosial. Kuncinya aktualisasi dalam pengukuran konsep. Kedua, Conten Validity. 

Perlu diketahui, pemahaman masyarakat umum dan minat terhadap politik bervariasi, sehingga timbul kesenjangan pemahaman. Bisa saja responden memberikan jawaban yang berbeda pada pertanyaan yang sama dan pada kesempatan berbeda karena pemahaman politiknya rendah.

Disamping itu, apalah gunanya memiliki banyak data, namun tidak bisa mengolah dan menganalisanya. Analisa data harus dapat menjelaskan keseragaman dan kenapa terjadi keseragaman. Seorang peneliti tak cukup terpelajar, namun harus paham angka dan konsep operasi matematika.  

Ada beberapa tipe dalam analisis, yakni Bivariate Analysis; membandingkan variabel-variabel agar dapat mengetahui keterhubungan satu sama lain. Multivariate Analysis. Berguna dalam memaham keterkaitan banyak variabel, untuk menganalisis data berdasarkan waktu.

Dibagian kedua buku ini, Lisa menjabarkan beberapa studi kasus terkait penelitian sosial. Diantaranya, SPSS. Diluncurkan pertama kali pada 1968 dengan nama Statistical Package for Social Sciences, namun sekarang nama itu berubah menjadi Statistical Product and Service Solution (SPSS). SPSS ini sajiannya dalam bentuk angka. Bagaimana informasi disajikan dalam kategori numerik. SPSS mempermudah pengolahan data dalam jumlah besar. SPSS dapat menganalisis statistik secara komplek maupun sederhana. 

Studi Kasus 2; British General Election Surveys (BES) dan British Election Panel Studies (BEPS) merupakan sumber data terdetail dan informasi tentang pemilu di Inggris. BES telah aktif pada 1964, sedangan BEPS, 1992. Keunggulan BEPS dapat membantu memahami konsistensi opini responden dalam jangka panjang. 

Kesimpulan

Lisa Harrison cukup gamblang memaparkan pertanyaan besar mengapa perlunya menggunakan kuantifikasi politik. Apa dan bagaimana mengenai kuatifikasi politik juga telah dijelaskannya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dibantu dengan berbagai contoh-contoh yang konkret. 

Untuk contoh kasus, Lisa lebih bayak menyoroti proses pemilu di Amerika Serikat, khususnya dengan mengambil sampel partisipasi politik masyarakat dan partai politik (Partai Demikrat Liberal) pada tahun 1997.

Pembahasan mengenai analisa kuantitatif yang dilakukan Lisa membuka peluang dalam pencarian pengetahuan yang objektif dari sesuatu yang tidak jelas. Maksudnya, ilmu politik mempelajari interaksi individu, manusia, atau negara. Interaksi sosial tidak nyata, namun dapat dirasakan. Dengan kuantifikasi politik, ketidakjelasan itu bisa menjadi objektif.

Rekomendasi

Inilah buku pertama yang berbicara tentang riset politik. Mengupas substansi secara sistematis dan memadukan aplikasi para pemakaianya di dalam dunia politik yang terkadang ruwet, ekslusif dan penuh rahasia. Yang paling menarik, buku ini dilengkapi dengan berbagai studi kasus dan didesain untuk memberikan keandalan mengidentifikasi teknik dan aplikasi  teori riset yang tepat pada situasi dan kondisi yang akan diriset serta ilustrasi nyata  implementasi di lapangan.

Kedepan, sebaiknya ulasan mengenai contoh kasus lebih up to date lagi. Tak hanya kasus-kasus yang terjadi di Amerika saja, namun bisa ke negara lain, termasuk Indonesia. Selain itu, perlu juga dijelaskan penggunaan analisa kuantitatif dan kualitatif untuk menjawab permasalahan di politik. Apakah kedua metode tersebut bisa berkolaborasi? Kita tunggu. 



Daftar Pustaka

1. Alicia Jensic (2011),Qualitatif VS Quantitative Research, John T.Ishiyama & Marijke Breuning 21 st Century Political Sience a Refernce Handbook,Los Angeles-London, New Delhi,Singapore, Washington DC; Sage Publication Inc.,pp.506-514

2. Fielding and Jane L., Gilbert, Nigel.  Understanding Social Statistics. London, Sage, 2000.

3. Fielding and Jane L., Gilbert, Nigel. Understanding Social Statistics. London. Sage. 2000.

4. Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta. Prenada Media Group. 2007

5. Ichlasul Amal & Budi Winarno, Metodologi Ilmu Politik, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, tanpa tahun, h.1

6. J.J. M. Wuisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. (Penyunting M. Hisyam), Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, 1996. 

7. Mary Grisez Kweit & Robert W. Kweit, Concepts And Methods For Political Analalysis, NJ: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1981.

8. R. Sapsford and V. Jupp.  Data Collection and Analysis. Schofield, Survey Sampling, London, Sage, 1996


DEMOKRASI DI ERA PANDEMI, PROTEKSI DIRI DALAM MEMILIH

Kehidupan demokrasi merupakan dambaan masyarakat suatu negara. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Masyarakat ikut serta dalam segala aktivitas sebuah pemerintahan. Tak terkecuali dalam memilih pemimpin. Pemilihan umum menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya dalam menciptakan kehidupan yang baik untuk masyarakat. Hal ini merupakan pemahaman ideal dalam kehidupan berdemokrasi.

Salah satu nilai dari demokrasi menurut Henry B. Mayo adalah menyelenggarakan peng- gantian pemimpin secara teratur (orderly succesion of rules). Penggantian pemimpin berdasarkan keturunan atau dengan jalan mengangkat diri sendiri ataupun melalui coup d’etat dianggap tidak wajar dalam suatu demokrasi. Penggantian pemimpin dalam suatu demokrasi satu-satunya cara adalah dengan melalui proses pemilihan umum (Pemilu).

Setiap lima tahun, warga negara Indonesia merayakan pemilu. Bahkan pemerintah Indonesia pun telah menyusun aturan normatif untuk pelaksanaan pemilu ini. Kita bisa temui adanya UU Pemilu. Sebegitu pentingnya pemilu dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sehingga ada UU khusus untuk mengatur hal itu. Baik itu pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden maupun pemilu untuk memilih pemimpin di daerah (Pilkada).

9 Desember 2020 masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan hajatan besar. Ada sekitar 734 calon pemimpin daerah yang akan dipilih secara langsung. Para pemimpin maju dalam Pilkada dengan janji menghadirkan kesejahteraan rakyat, menghadirkan kehidupan yang lebih baik secara lahir maupun batin, melindungi kehidupan dan kesalamatan rakyat. Sungguh mulia janjia itu. 

Namun dalam euforia tersebut ada kondisi yang menjadi perhatian besar bagi masyarakat Indonesia secara khusus, namun juga masyarakat dunia. Yakni munculnya pandemi Covid-19. Aktivitas warga terbatasi bahkan dilarang oleh pemerintah dengan keluarnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembelajaran tak lagi on site  atau tatap muka, kini dengan online (school from home), bekerja di rumah (work form home), aktivitas industri dibatasi, bahkan silaturahmi dan sholat berjamaah di masjid pun dibatasi. Intinya segala aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerumunan dibatasi.

Nah, bagaimana dengan pilkada serentak? Beberapa elemen masyarakat, seperti organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, individu meminta pemerintah untuk menunda pilkada serentak. Berbagai alasan, salah satunya keselamatan warga masyarakat lebih utama ketimbang pilkada. Mereka meminta pemerintah untuk fokus pada penanganan Covid-19, mengingat korban Covid-19 terus bertambah. 

Ada beberapa calon kepala daerah  dan calon wakil kepala daerah terpapar Covid-19. Contohnya Balon calon wakil kepala daerah Kota Binjai Lisa Andriani Lubis dinyatakan positif usai daftarkan ke KPU setempat. Balon Bupati Solok Selatan Khairunas dinyatakan positif usai ke Jakarta mengurus rekomendasi bersama calon wakil kepala daerah Yuliah Eli. Balon Bupati Rokan Hilir Riau Suyatno positif terpapar Covid-19 terpaksa dia daftar ke KPU secara virtual. Di Boyolali, 96 orang setelah dites SWAB terdapat 20 anggota/ketua Panwas Kecamatan dan 76 anggota/ketua Panwas Desa/kelurahan dinyatakan positif Covid-19. Sebelumnya, ada 21 staf pegawai KPU RI dinyatakan positif Covid-19, hasil tes pada 3,4,5 Agustus 2020. 


Itukan hanya beberapa orang saja. Lebay ngga sih? Ya, tidak juga. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan Covid-19 dapat menyebar melalui udara. Bahkan, dalam perkembangan terbaru, WHO menegaskan udara menjadi salah satu transmisi atau cara penularan Covid-19.  Selain udara ada cara dalam penyebaran Covid-19, antara lain penyebaran Covid-19 melalui droplet (air yag keluar ketika batuk atau bersin), udara, permukaan yang terkontaminasi, dan limbah manusia. WHO juga menyinggung beberapa tempat yang rawan menjadi tempat penyebaran Covid-19, seperti tempat ramai, tempat yang sempit dan ruangan yang terbatas dan tertutup. 

Pilkada tentunya menciptakan kerumunan, meski sudah ada pembatasan kerumunan dalam kampanye misalnya. Kerumunan tercipta dari beberapa sumber, mulai dari penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu dan masyarakat pemilih. Menurut Qadari ,2020, ada dua titik bahaya penyebaran Covid-19 berikutnya dalam tahapan pilkada 2020. Pertama, masa kampanye (26 Sep- 5 Des 2020). Kedua, hari pencoblosan (9 Desember 2020). 

Mau lebih jelas? Begini hitung-hitungannya. Di masa kampanye: potensi melahirkan titik kerumunan; jumlah paslon ada 734. Jumlah pasangan: 734 paslon x 2 = 1468 calon. Tiap calon kampanye rapat umum/temu terbatas di 10 titik/hari dalam 71 hari. Maka kampanye pilkada menciptakan 1468 calon x 10 titik x 71 hari= 1.042.280 titik penyebaran Covid-19. Jumlah orang yang terlibat dalam 1.042.280 titik kampanye tersebut jika ikut aturan PKPU maksima l00 orang/titik; 100 orang  x 1.042.280  titik = 104.228.000 orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 Indonesai 19%, maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan dalam masa kampanye 71 hari: 104.228.000 x 19% = 19.803.320 orang.

Dihari pencoblosan berpotensi melahirkan titik kerumunan: 305.000 titik (estimasi jumlah TPS dalam pilkada serentak 9 Desember 2020). Jumlah orang yang terlibat di 305.000 titik TPS tersebut jika memakai target partisipasi 77,5% oleh  KPU adalah 106.000.000 DPT x 77,5% = 82.150.000 orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 Indonesia 19%, maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan pada hari H tanggal 9 Desember 2020 adalah 82.150.000 orang x 19%= 15.608.500 orang. Ini merupakan hitung-hitungan agar menjadi perhatian. Jangan sampai demokrasi yang didambakan menjadi demokrasi pandemi; oleh pandemi,untuk pandemi dari pandemi. Semoga saja tidak terjadi. 

Mengutip penjelasan Nur Hidayat Sardini, 2020, ada beberapa waktu terjadinya kerumunan,yakni kerumunan yang terjadi sebelum hari pencoblosan. Kerumunan dapat terjadi ketika aktivitas bimtek jajaran penyelenggara pemilu setelah diaktifkan kembali, tahapan pemutakhirn data/daftar pemilih verifikasi calon peserta pilkada, kampanye masa tenang, distribusi logistik, dan kegiatan pengawasan.  Aktivitas menyiapkan TPS pelaksanaan hari-H pemilu yang terdiri atas pemungutan suaran, penghitungan suara, pemindahan dan pengisian suara ke dalam sejumlah formulir serta aktivitas hilir mudik dan dialog antar orang serta aktivitas pengawasan pilkada akan jadi bagian dari kerumunan. Kerumunan setelah pemilihan juga terjadi, misalkan dalam aktivitas pergerakan suara di TPS ke PPKD, proses rekapitulasi suara di OOK/D, KPU kebupaten/kota dan KPU provinsi dan aktivitas-aktivitas di dalamnya serta kegiatan pegawasan pemilu akan jadi bagian dari pemandangan adanya konsetrasi massa dengan ragam latar belakang. 

Pilkada must go on. Pilkada serentak tahun 2020 tetap dilaksanakan di 270 daerah, sekitar 105 juta pemilih akan terlibat pada 9 Desember 2020 nanti. Pandemi Covid-19 terus menghantui dan tidak ada yang tahu sampaikan kapan pandemi akan berakhir. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Sekretaris Jenderal Kemendagri menekankan pemerintah daerah (pemda) yang melaksanakan pilkada serentak 2020 harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.  Hal ini dilakukan untuk menepis anggapan pilkada menjadi klaster pandemi.

Tak hanya itu, Kemendagri pun mewajibkan pemda untuk mempercepat pencairan anggaran pilkada lewat naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Kemudian, pemda terus menggencarkan sosialisasi dan simulasi protokol kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum  (PKPU) Nomor 13 tahun 2020. Selain itu, pemda wajib menjamin ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi petgas pemilihan dan keamanan pilkada. Terakhir, pemda wajib mensosialisasikan suksesi pilkada di tengah pandemi.

Agar Pilkada tetap aman, KPU membuat aturan main di hari pencoblosan, antara lain petugas TPS harus memastikan tidak ada penumpukan orang. Satu TPS maksimal untuk 500 orang. Bagi pemilih bersuhu 37,3 derajat celsius harus didampingi saat mencoblos. Petugas TPS menggunakan masker, sarung tangan sekali pakai, dan pelindung wajah. Bagi pemilih, pengawas dan saksi wajib mengenakan masker dan sarung tangan sekalin pakai. Petugas TPS menyediakan masker dan sarung tangan sekali pakai jika ada pemilih yang tidak mengenakan. Sebelum memilih, pemilih mencoblos surat suara dengan paku yang disediakan dan petugas TPS wajib menyemprot paki dengan disinfektan secara berkala. Khusus pandemi, KPU mengganti tinta celup degan tinta semprot atau tetes. 

Meski KPU telah mengeluarkan aturan main. Namun  masih terbersit keraguan. Keraguan itupun cukup beralasan. Misalkan praktik (sistem) pengendalian pilkada masih lemah, terutama dalam menempatkan keterlibatan massa pendukung paslon dan pemilih. Demikian juga daya jelajah Bawaslu dalam mengendalikan paslon dan pemilih. Sinergi internal penyelenggara pemilu dan pihak terkait serta pengendalian dinilai masih lemah. 

Di tengah keraguan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat pemilih akan Covid 19 phobia. Bekembang perasaan khawatir jika harus hadir dan menggunakan hak memilihnya di TPS pada 9 Desember 2020. KPU optimis menarget tingkat voter turn out pilkada kali ini 77,5%, tampaknya ingin mengulang cerita sukses pemilu tahun 2019 sebesar 81,97%. 

Pilkada serentak sudah terjadwal. Proteksi diri dalam memilih sebaiknya sudah disiapkan sejak dini. Kita berharap pilkada serentak tidak mejadi ajang menghampiri maut, karena potensi penularan Covid-19 pasti ada akibat kerumunan yang tercipta. Semua cara perlu dicoba untuk memastikan proses pilkada berlangsung aman dengan resiko sekecil mungkin. Aamiin.