Selasa, 27 Oktober 2020

DEMOKRASI DI ERA PANDEMI, PROTEKSI DIRI DALAM MEMILIH

Kehidupan demokrasi merupakan dambaan masyarakat suatu negara. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Masyarakat ikut serta dalam segala aktivitas sebuah pemerintahan. Tak terkecuali dalam memilih pemimpin. Pemilihan umum menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya dalam menciptakan kehidupan yang baik untuk masyarakat. Hal ini merupakan pemahaman ideal dalam kehidupan berdemokrasi.

Salah satu nilai dari demokrasi menurut Henry B. Mayo adalah menyelenggarakan peng- gantian pemimpin secara teratur (orderly succesion of rules). Penggantian pemimpin berdasarkan keturunan atau dengan jalan mengangkat diri sendiri ataupun melalui coup d’etat dianggap tidak wajar dalam suatu demokrasi. Penggantian pemimpin dalam suatu demokrasi satu-satunya cara adalah dengan melalui proses pemilihan umum (Pemilu).

Setiap lima tahun, warga negara Indonesia merayakan pemilu. Bahkan pemerintah Indonesia pun telah menyusun aturan normatif untuk pelaksanaan pemilu ini. Kita bisa temui adanya UU Pemilu. Sebegitu pentingnya pemilu dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, sehingga ada UU khusus untuk mengatur hal itu. Baik itu pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden maupun pemilu untuk memilih pemimpin di daerah (Pilkada).

9 Desember 2020 masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan hajatan besar. Ada sekitar 734 calon pemimpin daerah yang akan dipilih secara langsung. Para pemimpin maju dalam Pilkada dengan janji menghadirkan kesejahteraan rakyat, menghadirkan kehidupan yang lebih baik secara lahir maupun batin, melindungi kehidupan dan kesalamatan rakyat. Sungguh mulia janjia itu. 

Namun dalam euforia tersebut ada kondisi yang menjadi perhatian besar bagi masyarakat Indonesia secara khusus, namun juga masyarakat dunia. Yakni munculnya pandemi Covid-19. Aktivitas warga terbatasi bahkan dilarang oleh pemerintah dengan keluarnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pembelajaran tak lagi on site  atau tatap muka, kini dengan online (school from home), bekerja di rumah (work form home), aktivitas industri dibatasi, bahkan silaturahmi dan sholat berjamaah di masjid pun dibatasi. Intinya segala aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerumunan dibatasi.

Nah, bagaimana dengan pilkada serentak? Beberapa elemen masyarakat, seperti organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, individu meminta pemerintah untuk menunda pilkada serentak. Berbagai alasan, salah satunya keselamatan warga masyarakat lebih utama ketimbang pilkada. Mereka meminta pemerintah untuk fokus pada penanganan Covid-19, mengingat korban Covid-19 terus bertambah. 

Ada beberapa calon kepala daerah  dan calon wakil kepala daerah terpapar Covid-19. Contohnya Balon calon wakil kepala daerah Kota Binjai Lisa Andriani Lubis dinyatakan positif usai daftarkan ke KPU setempat. Balon Bupati Solok Selatan Khairunas dinyatakan positif usai ke Jakarta mengurus rekomendasi bersama calon wakil kepala daerah Yuliah Eli. Balon Bupati Rokan Hilir Riau Suyatno positif terpapar Covid-19 terpaksa dia daftar ke KPU secara virtual. Di Boyolali, 96 orang setelah dites SWAB terdapat 20 anggota/ketua Panwas Kecamatan dan 76 anggota/ketua Panwas Desa/kelurahan dinyatakan positif Covid-19. Sebelumnya, ada 21 staf pegawai KPU RI dinyatakan positif Covid-19, hasil tes pada 3,4,5 Agustus 2020. 


Itukan hanya beberapa orang saja. Lebay ngga sih? Ya, tidak juga. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan Covid-19 dapat menyebar melalui udara. Bahkan, dalam perkembangan terbaru, WHO menegaskan udara menjadi salah satu transmisi atau cara penularan Covid-19.  Selain udara ada cara dalam penyebaran Covid-19, antara lain penyebaran Covid-19 melalui droplet (air yag keluar ketika batuk atau bersin), udara, permukaan yang terkontaminasi, dan limbah manusia. WHO juga menyinggung beberapa tempat yang rawan menjadi tempat penyebaran Covid-19, seperti tempat ramai, tempat yang sempit dan ruangan yang terbatas dan tertutup. 

Pilkada tentunya menciptakan kerumunan, meski sudah ada pembatasan kerumunan dalam kampanye misalnya. Kerumunan tercipta dari beberapa sumber, mulai dari penyelenggaraan pemilu, peserta pemilu dan masyarakat pemilih. Menurut Qadari ,2020, ada dua titik bahaya penyebaran Covid-19 berikutnya dalam tahapan pilkada 2020. Pertama, masa kampanye (26 Sep- 5 Des 2020). Kedua, hari pencoblosan (9 Desember 2020). 

Mau lebih jelas? Begini hitung-hitungannya. Di masa kampanye: potensi melahirkan titik kerumunan; jumlah paslon ada 734. Jumlah pasangan: 734 paslon x 2 = 1468 calon. Tiap calon kampanye rapat umum/temu terbatas di 10 titik/hari dalam 71 hari. Maka kampanye pilkada menciptakan 1468 calon x 10 titik x 71 hari= 1.042.280 titik penyebaran Covid-19. Jumlah orang yang terlibat dalam 1.042.280 titik kampanye tersebut jika ikut aturan PKPU maksima l00 orang/titik; 100 orang  x 1.042.280  titik = 104.228.000 orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 Indonesai 19%, maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan dalam masa kampanye 71 hari: 104.228.000 x 19% = 19.803.320 orang.

Dihari pencoblosan berpotensi melahirkan titik kerumunan: 305.000 titik (estimasi jumlah TPS dalam pilkada serentak 9 Desember 2020). Jumlah orang yang terlibat di 305.000 titik TPS tersebut jika memakai target partisipasi 77,5% oleh  KPU adalah 106.000.000 DPT x 77,5% = 82.150.000 orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 Indonesia 19%, maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan pada hari H tanggal 9 Desember 2020 adalah 82.150.000 orang x 19%= 15.608.500 orang. Ini merupakan hitung-hitungan agar menjadi perhatian. Jangan sampai demokrasi yang didambakan menjadi demokrasi pandemi; oleh pandemi,untuk pandemi dari pandemi. Semoga saja tidak terjadi. 

Mengutip penjelasan Nur Hidayat Sardini, 2020, ada beberapa waktu terjadinya kerumunan,yakni kerumunan yang terjadi sebelum hari pencoblosan. Kerumunan dapat terjadi ketika aktivitas bimtek jajaran penyelenggara pemilu setelah diaktifkan kembali, tahapan pemutakhirn data/daftar pemilih verifikasi calon peserta pilkada, kampanye masa tenang, distribusi logistik, dan kegiatan pengawasan.  Aktivitas menyiapkan TPS pelaksanaan hari-H pemilu yang terdiri atas pemungutan suaran, penghitungan suara, pemindahan dan pengisian suara ke dalam sejumlah formulir serta aktivitas hilir mudik dan dialog antar orang serta aktivitas pengawasan pilkada akan jadi bagian dari kerumunan. Kerumunan setelah pemilihan juga terjadi, misalkan dalam aktivitas pergerakan suara di TPS ke PPKD, proses rekapitulasi suara di OOK/D, KPU kebupaten/kota dan KPU provinsi dan aktivitas-aktivitas di dalamnya serta kegiatan pegawasan pemilu akan jadi bagian dari pemandangan adanya konsetrasi massa dengan ragam latar belakang. 

Pilkada must go on. Pilkada serentak tahun 2020 tetap dilaksanakan di 270 daerah, sekitar 105 juta pemilih akan terlibat pada 9 Desember 2020 nanti. Pandemi Covid-19 terus menghantui dan tidak ada yang tahu sampaikan kapan pandemi akan berakhir. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Sekretaris Jenderal Kemendagri menekankan pemerintah daerah (pemda) yang melaksanakan pilkada serentak 2020 harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.  Hal ini dilakukan untuk menepis anggapan pilkada menjadi klaster pandemi.

Tak hanya itu, Kemendagri pun mewajibkan pemda untuk mempercepat pencairan anggaran pilkada lewat naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Kemudian, pemda terus menggencarkan sosialisasi dan simulasi protokol kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum  (PKPU) Nomor 13 tahun 2020. Selain itu, pemda wajib menjamin ketersediaan alat pelindung diri (APD) bagi petgas pemilihan dan keamanan pilkada. Terakhir, pemda wajib mensosialisasikan suksesi pilkada di tengah pandemi.

Agar Pilkada tetap aman, KPU membuat aturan main di hari pencoblosan, antara lain petugas TPS harus memastikan tidak ada penumpukan orang. Satu TPS maksimal untuk 500 orang. Bagi pemilih bersuhu 37,3 derajat celsius harus didampingi saat mencoblos. Petugas TPS menggunakan masker, sarung tangan sekali pakai, dan pelindung wajah. Bagi pemilih, pengawas dan saksi wajib mengenakan masker dan sarung tangan sekalin pakai. Petugas TPS menyediakan masker dan sarung tangan sekali pakai jika ada pemilih yang tidak mengenakan. Sebelum memilih, pemilih mencoblos surat suara dengan paku yang disediakan dan petugas TPS wajib menyemprot paki dengan disinfektan secara berkala. Khusus pandemi, KPU mengganti tinta celup degan tinta semprot atau tetes. 

Meski KPU telah mengeluarkan aturan main. Namun  masih terbersit keraguan. Keraguan itupun cukup beralasan. Misalkan praktik (sistem) pengendalian pilkada masih lemah, terutama dalam menempatkan keterlibatan massa pendukung paslon dan pemilih. Demikian juga daya jelajah Bawaslu dalam mengendalikan paslon dan pemilih. Sinergi internal penyelenggara pemilu dan pihak terkait serta pengendalian dinilai masih lemah. 

Di tengah keraguan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat pemilih akan Covid 19 phobia. Bekembang perasaan khawatir jika harus hadir dan menggunakan hak memilihnya di TPS pada 9 Desember 2020. KPU optimis menarget tingkat voter turn out pilkada kali ini 77,5%, tampaknya ingin mengulang cerita sukses pemilu tahun 2019 sebesar 81,97%. 

Pilkada serentak sudah terjadwal. Proteksi diri dalam memilih sebaiknya sudah disiapkan sejak dini. Kita berharap pilkada serentak tidak mejadi ajang menghampiri maut, karena potensi penularan Covid-19 pasti ada akibat kerumunan yang tercipta. Semua cara perlu dicoba untuk memastikan proses pilkada berlangsung aman dengan resiko sekecil mungkin. Aamiin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar