Kamis, 20 Oktober 2016

Pertumbuhan Industri Indonesia Tersandung Daya Saing



Oleh: Septiadi
 (Anggota IKAPOL IISIP Jakarta dan Alumni Indef School of Political Economy/ISPE angkatan I)
Pertumbuhan industri di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir semakin terpuruk. Meningkatkan daya saing industri menjadi sebuah keniscayaan. Paket kebijakan ekonomi pun dikeluarkan guna  meningkatkan daya saing. Bagaimana daya saing industri Indonesia pasca paket kebijakan ekonomi?
Setahun sudah pemerintah mengeluarkan 13 Paket Kebijakan Ekonomi. Paket kebijakan melalui deregulasi, debirokratisasi dan insentif fiskal ini diharapkan perekonomian nasional dapat bertahan serta dapat merespon secara cepat keluar dari situasi ekonomi global yang terus melambat.
Daya saing menjadi keniscayaan. Daya saing perekonomian nasional perlu digenjot, tidak hanya di pasar dalam negeri tapi juga ditingkat internasional. Juga mendorong pelaku usaha di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar tumbuh dan berkembang menjadi besar. Pintu pasar bebas ASEAN telah terbuka, persaingan antarnegara semakin ketat dengan standar mutu produk dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kian tinggi.
Berbagai peraturan telah dibuat atau merevisi peraturan yang ada untuk mendukung paket kebijakan ekonomi ini, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden,  maupun di tingkat kementerian/lembaga. Intinya bagaimana pelaksanaan paket kebijakan ini bisa berjalan konsisten dari pusat sampai ke daerah.
Satuan tugas (satgas) maupun mekanisme pemantauan pelaksanaan paket kebijakan ini sudah dibentuk, sehingga dapat memantau pelaksanaannya. Yang terpenting adalah peran masyarakat dalam melihat dan mengawasi secara langsung pelaksanaan berbagai Paket Kebijakan Ekonomi itu dilapangan, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau masih banyak kendala.
Jauh dari Harapan
Paket kebijakan mengarah ke beberapa sektor, kali ini kita mencoba menelaah sektor industri. Paket Kebijakan Ekonomi diharapkan meningkatkan daya saing industri nusantara. Namun apa yang terjadi?  Investasi pada triwulan II 2016 mengalami penurunan, sehingga paket stimulus fiskal yang alih-alih meningkatkan investasi, tapi kenyataannya kontraproduktif. Idealnya paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berdampak pada meningkatnya investasi di Indonesia.  Persoalannya bukan sekadar tidak naik, tetapi justru turun. Porsi GDP yang tadinya sudah 34%, malah sekarang tinggal 33%, ada penurunan.
Meskipun ada peningkatan investasi, itupun didominasi investasi di sektor tersier. Ketika pemerintah mengeluarkan biaya, semestinya dapat memperbaiki dan mempercepat industri-industri manufaktur yang memiliki nilai tambah. Selain itu, untuk menjawab persoalan pengangguran yang semakin meningkat dibutuhkan industri-industri yang padat karya. Kenyataannya selama 2015, industri padat karya justru minus 12%.
Sampai dengan semester pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan tenaga kerja turun.  Karena industri PMA yang padat karya lay off, sementara investasi dan industri manufaktur baru di Indonesia berada di sektor industri tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi dan penurunan kesempatan kerja.
Beberapa tahun belakangan ekspor komoditi meningkat, sehingga orang meninggalkan industri. Tanda-tandanya dapat terlihat dengan semakin melambatnya industri pada triwulan II tahun 2015 dan disusul pada triwulan I tahun 2016, pertumbuhan industri menurun di bawah pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, kontribusi industri nasional terhadap PDB juga terus menurun.
Ekspor produk-produk industri nasional juga mengalami penurunan.  Produk industri nasional hanya memberikan share sebesar 0,56% dari 12,065.58 miliar USD ekspor produk industri dunia, yaitu sebesar 67,80 miliar USD.
Tak hanya itu, terkait dengan SME, di ASEAN saja produk industri nasional tidak sampai 1%, tepatnya 0,8%  dari 9,3% share ASEAN. Memang tidak dipungkiri, industri besar sedang  (IBS)dan industri mikro kecil (IMK) sebenarnya tumbuh. Namun, jika diurai satu persatu antara IBS dan IMK, masing-masing tidak memiliki pertumbuhan secara bersama, bahkan jenis produk yang dihasilkan tidak sama. Sehingga IMK tidak bisa menjadi pemasok IBS.
Peningkatan daya saing menjadi penentu. Untuk menuju daya saing yang tinggi. Harus dipikirkan bagaimana arah industri nasional, apakah berbasis sumber daya alam (SDA)dan padat karya? Sehingga fokus industri berbasis SDA dan SDM. Selama ini, kontribusi industri terhadap PDB juga terus turun. Kalaupun Indonesia mau disebut negara industri, seharusnya pertumbuhan industrinya diatas 40%, namun kenyataannya, Indonesia untuk menuju negara semi industri saja belum bisa. Mau jadi apa sebenarnya Indonesia?.
Jika pengembangan industri nasional difokuskan pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam pada industri hulu berbasis agro, mineral, serta migas dan batubara. Hal tersebut harus disosialisasi bahwa industri ini akan dijadikan unggulan sehingga terbuka peluang investasi dan memudahkan bagi calon investor.
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Namun SDM yang terserap ke industri masih didominasi lulusan pendidikan SD, SMP dan SMA. Sekitar  120-130 juta tenaga kerja Indonesia, dari jumpah tersebut 90 juta itu terdiri dari (SD,SMP, dan SMA), dan paling banyak lulusan SD. Memang banyak tenaga kerja yang terserap dan kontribusi terhadap GDP juga besar, namun sayang produk industri yang bisa diekspor masih sedikit.
Besarnya tenaga kerja yang berpendidikan SD, SMP dan SMA berpengaruh pada performance daya saing industri nasional. Indonesia menduduki peringkat 40 pada indek performance daya saing. Ada sekitar 8000 produk industri yang berdaya saing tinggi di negara-negara ASEAN, namun hanya ada 100 produk industri nasional yang dianggap memiliki daya saing kuat.
Satu hal yang tidak bisa dianggap remeh yaitu masalah biaya logistik yang terlalu tinggi sehingga memengaruhi pertumbuhan industri nasional. Biaya logistik yang dikeluarkan bisa mencapai 20%, dan itu tidak pernah terpikirkan. Seperti biaya pelepasan pabrik, pembersihan, asuransi dan segala macam.
Ekonomi Global
Dua tahun terakhir merupakan momentum berat bagi perekonomian global. Perubahan begitu cepat, sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu cepat, tiba-tiba mandek. Negara-negara maju kehilangan momentum, dan negara-negara berkembang “berantakan”. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi sebesar 5% terbilang belum cukup bagi Indonesia.
                Melihat pertumbuhan industri di negara maju perbandingannya 60%-40%. 60% ekspor industri, 30% ekspor komoditi dan 10% ekspor lain. Sedangkan di Indonesia, ekspor komoditi sebesar 65% , 25%-30% ekspor manufaktur, 5% lain-lain seperti pariwisata dan segala macam.
                Nah, dari  kondisi tersebut, apakah Indonesia harus menerima saja kondisi global yang terjadi? Tentunya tidak. Sudah ada paket kebijakan ekonomi untuk menghadapi itu. Suatu hal penting, bagaimana industri memiliki daya saing, salah satunya dengan melakukan produksi di dalam negeri.
                Setidaknya ada beberapa hal yang dibutuhkan industri. Pertama infrastruktur. Infrastruktur tidak lagi dikonotasikan sebagai jalanan, tapi bisa meliputi pelabuhan, ketersediaan listrik, lahan dan sebagainya. Kedua, bagaimana memikirkan agar industri nusantara memiliki daya saing, ditengah harga gas nasional paling mahal di dunia. Gas dan listrik menjadi hal penting dalam industri. Ketiga, ketersediaan bahan baku yang murah.
                Industri sebenarnya ada dua kekuatan yang menopangnya, yaitu energi dan man power.  Energi masih dianggap sebagai revenue, bukan sebagai pengungkit di industri. Sementara man power masih banyak SD, SMP, dan SMA. Asosiasi sektoral seharusnya sudah bisa menentukan standardisasi kompetensi yang diharapkan dari pekerjanya. Meskipun sudah ada badan sertifikasi, tapi untuk SDM tak sekadar sertifikasi saja. PR besar bagi industri yaitu menentukan standardisasi kompetensi.
Evaluasi paket kebijakan ekonomi perlu dilakukan, salah satunya bagaimana tercipta harmonisasi peraturan antara pemerintah pusat dengan dibawahnya. Bercermin dari kesuksesan Thailand. Di Thailand ada board investment , kalau di Indonesia semacam BKPM. Bedanya, board tersebut diketuai oleh Perdana Menteri. Apa yang sudah diputuskan oleh board, akan dilaksanakan dibawahnya. Sedangkan di Indonesia, ketika BKPM sudah memutuskan, tapi implementasinya bagaimana?.
Paket kebijakan belum dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga belum efektif. Dibutuhkan langkah yang sama di semua kementerian dan lembaga untuk mempercepat program hilirisasi. Memperkenalkan kebijakan industri dalam negeri di ajang dunia. Selain itu, perlu menjalankan sepenuhnya tindakan pengamanan sesuai dengan instrumen pengamanan perdagangan, yaitu trade remedies (anti-dumping & safeguards) dan menjalankan Industrial Intelligence yang dikerjasamakan persiapannya antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Bea & Cukai, dan asosiasi sektoralnya.  
Kadang kita mengeluh, kenapa Indonesia kalah dengan negara seperti Vietnam dan  Thailand. Keluhan tersebut seharusnya dibarengi pada upaya peningkatan daya saing. Dengan daya saing yang tinggi, tentunya produk industri nasional tidak akan kalah, baik di dalam maupun di luar negeri.
semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar