Kamis, 20 Oktober 2016

71 Tahun Indonesia Digoyang Ketimpangan



71 Tahun Indonesia Digoyang Ketimpangan
Oleh Septiadi
 (Anggota IKAPOL IISIP Jakarta dan Indef School Political Economy (ISPE) angkatan I)

Tak terasa, 71 tahun sudah Indonesia menikmati masa kemderdekaannya. Kemerdekaan yang diraih oleh para pendiri bangsa ini semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia. Semangat memakmurkan dan mensejahterakan bangsa dan negara Indonesia juga dimasukan ke dalam pondasi konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945.
Kemakmuran dan kesejahteraan menjadi indikator tolok ukur bagi pemerintah dalam mewujudkan tujuan kemerdekaan.  Berhasil atau tidaknya kinerja pemerintah dapat dilihat dari berapa besar ketimpangan kesejahteraan yang dialami warganya.
Dengan adanya ketimpangan kinerja ekonomi menjadi tidak optimal, dikarenakan masih ada sumber-sumber ekonomi yang nganggur (idle). Demikian halnya jika ada wilayah yang masih mengalami ketimpangan, hal menandakan masih ada sumber daya di wilayah tersebut belum optimal, termasuk ketimpangan antara desa dan kota.
Indonesia banyak memiliki potensi, namun dalam proses pembangunan belum memberdayakan potensi tersebut dengan maksimal. Negara harus segera memandu jalannya perekonomian agar lebih harmonis, sehingga ketimpangan tidak menjadi-jadi.  Karena jika dilihat secara ekonomi maupun politik, ketimpangan mengakibatkan kinerja pembangunan tidak optimal.
Menelisik data pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ditengah perlambatan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih 5%. Dari pertumbuhan Indonesia, sekitar 54% berasal dari konsumsi rumah tangga.  Jika ditambah dengan konsumsi pemerintah bisa mencapai 60%. Ekspor-impor Indonesia pertumbuhannya mengalami negatif, mengalami penurunan. 
Ironinya, konsumsi rumah tangga yang besar tidak diimbangi  dengan laju investasi, bahkan impor konsumsi Indonesia malah naik. Menjadi suatu hal merugi bagi Indonesia jika potensi konsumsi besar tersebut diramaikan oleh produk-produk impor. Lambat laun, hal demikian akan berdampak semakin nyamannya ketimpangan yang terjadi.
Pada triwulan I dan II tahun 2016 lebih banyak disumbangkan oleh sektor jasa. Pengamat ekonomi menilai sektor jasa merupakan sektor non tradable atau tidak menghasilkan barang dan tidak ada barang yang didagangkan. Indonesia memiliki jumlah penduduk besar, jika hanya mengandalkan sektor jasa, akan sedikit tenaga kerja yang diserap. Beda halnya jika sektor jasa bisa menghasilkan produk dengan melibatkan pemilik modal dan tenaga kerja. Sehingga seluruh faktor produksi menikmati kinerja ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, tak hanya didominasi oleh sektor konsumsi, tapi juga sektor produksi, investasi termasuk pertumbuhan sektoral yang memiliki daya saing, seperti karet dan CPO. Kenyataan yang ada, sektor tradable dan non tradable mengalami ketimpangan pertumbuhannya.
Pertumbuhan industri baru 21%, meskipun dalam lima tahun sebelumnya mencapai 24%. Bersyukur, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar. Diperlukan strategi dalam mengolah SDA tersebut sehingga menghasilkan nilai tambah.
Gini ratio Indonesai mencapai 0,39. Meski data yang dirilis oleh BPS merupakan data pengeluaran, bukan pendapatan. Ketimpangan pengeluaran ini sudah menghasilkan angka yang besar. Apalagi jika diukur dengan ketimpangan pendapatan, pastinya akan lebih lebar lagi.
Indonesia memiliki SDA yang luar biasa, namun sayangnya, sekitar 80% ekspor Indonesia masih berupa produk komoditas. Sedangkan ekspor manufakturing baru 8,6%. Berbeda jika dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia. Padahal mereka beberapa tahun lalu masih belajar dari Indonesia.
 
Hal ini berujung pada arah ekspor yang dilakukan pemerintah Indonesia. Yaitu pada negara-negara industri seperti Amerika dan Jepang. Ini dilakukan, lantaran hanya mengandalkan eskpro komoditas saja. Berbeda halnya jika Indonesia sudah memiliki banyak produk-produk ekspor yang dimiliki. Negara-negara Timur Tengah bisa menjadi negara yang pertama bersedia  menampung produk Indonesia. 

Objek MEA
                Keran perdagangan ASEAN telah terbuka. Selama satu tahun terakhir, kenaikan barang kondumsi ke Indonesia meningkat. Sedangkan untuk barang bakau dan penolong malah menurun. Jika bahan baku dan penolong minus, mungkin bisa sjaa memberikan peluang baik, yaitu dengan munculnya industrialiasai. Tapi kenyataannya industri manufacturing masing dibawah. Hal ini menandakan tidak adanya pergerakan dari industri. Maka terjadi de-industrialisasi, sehingga kebutuhan konsumsi rumah tangga lebih banyak diperoleh dari impor.
Produk impor yang masuk ke Indonesia selama satu tahun terakhir berasal dari negara-negara ASEAN, dan impor terbesar adalah impor pangan. Indonesia menjadi objek MEA. Apakah Indonesia akan terus menjadi objek? Berbagai upaya pun dilakukan. Setidaknya sudah ada 12 paket stimulus fiskal di tahun 2015.
Paket stimulus yang diharapkan bisa meningkatkan investasi, justru kenyataannya berbeda, investasi malah menurun. Di Trwiulan I 2016, investasi yang tumbuh, hanya investasi fisik, sedangkan investasi non fisik justru minus 2%. Investasi non fisik ada di sektor riil, bisa berupa investasi modal dan membangun industri. Sedangkan triwulan II, investasi menurun. Hal ini memberikan gambaran menurunnya investasi, salah satunya disebabkan karena implementasi paket tidak berjalan. Sehingga paket-pekat stimulus belum menjawab permasalahan.
Meski pada tahun 2015, persetujuan investasi di BKPM lebih dari Rp.1800. Ada ketertarikan investasi yang mau masuk karena iming paket yang dijanjikan pemerintah. Tapi realisasi yang mendapat persetujuan dari BPKM tadi hanya sekitar 35%. Berbeda pada tahun sebelumnya bisa mencapai 50%.
Realisasi investasi di Indonesia masih didominasi sektor tersier. Sampai dengan semester pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan tenaga kerja turun.  Karena industri PMA yang padat karya lay off, sementara investasi dan industri manufactur baru di Indonesia berada di sektor industri tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi dan penurunan kesempatan kerja.
Satu hal yang perlu mendapay perhatian lebih. Di wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya besar dan perbatasan pertumbuhan ekonomi di bawah PDRB. Hal ini bila dikaji secara politis sangat beresiko tinggi, disamping itu wilayah tersebut juga mempunyai tingkat ketahanan yang rentan. Pertama memiliki sumber daya yang luar biasa, dan daerah perbatasan. Kalau tidak dikelola dengan baik, mereka bisa melepas dari NKRI.
71 tahun sudah. Jika industri yang dikembangkan bukan merupakan industri yang memiliki nilai tambah. Artinya sektor perkembunan, pertanian akan tetap menjadi sektor tradisional. Beda halnya jika, sektor tradisional dapat dihubungkan dengan industri, sehingga ada kepastian permintaan. Sehingga ketika panen raya, harga tidak jatuh. Karena ada kepastian harga dan permintaan sehingga memberikan insentif buat petani, sehingga sektor pertanian akan terus sustainable berproduksi. Industri pun akan demikian.
Dengan adanya industri pengolahan dan sebagainya menciptakan produk, sektor perdagangan ,keuangan dan transportasi sehingga menjadi pembentuk prime mover pertumbuhan ekonomi, karena memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini mampu menarik gerbong sektor tradisional sehingga memiliki nilai tambah. Seperti produk turunan kelapa sawit dan karet. inilah yang akan menciptakan suatu pertumbuhan yang inklusi. Pertumbuhan yang mampu menggerakkan seluruh swadaya yang ada di perokomian. Ini yang diharapkan terciptanya pemerataan pembangunan.
Semoga.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar