71 Tahun Indonesia Digoyang
Ketimpangan
Oleh Septiadi
(Anggota IKAPOL IISIP Jakarta
dan Indef School Political Economy (ISPE) angkatan I)
Tak terasa, 71
tahun sudah Indonesia menikmati masa kemderdekaannya. Kemerdekaan yang diraih
oleh para pendiri bangsa ini semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan
bagi bangsa dan negara Indonesia. Semangat memakmurkan dan mensejahterakan
bangsa dan negara Indonesia juga dimasukan ke dalam pondasi konstitusi
Indonesia, yaitu UUD 1945.
Kemakmuran dan
kesejahteraan menjadi indikator tolok ukur bagi pemerintah dalam mewujudkan
tujuan kemerdekaan. Berhasil atau
tidaknya kinerja pemerintah dapat dilihat dari berapa besar ketimpangan
kesejahteraan yang dialami warganya.
Dengan adanya
ketimpangan kinerja ekonomi menjadi tidak optimal, dikarenakan masih ada
sumber-sumber ekonomi yang nganggur (idle).
Demikian halnya jika ada wilayah yang masih mengalami ketimpangan, hal
menandakan masih ada sumber daya di wilayah tersebut belum optimal, termasuk
ketimpangan antara desa dan kota.
Indonesia
banyak memiliki potensi, namun dalam proses pembangunan belum memberdayakan
potensi tersebut dengan maksimal. Negara harus segera memandu jalannya
perekonomian agar lebih harmonis, sehingga ketimpangan tidak menjadi-jadi. Karena jika dilihat secara ekonomi maupun
politik, ketimpangan mengakibatkan kinerja pembangunan tidak optimal.
Menelisik data
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ditengah perlambatan ekonomi, pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih 5%. Dari pertumbuhan Indonesia, sekitar 54% berasal
dari konsumsi rumah tangga. Jika
ditambah dengan konsumsi pemerintah bisa mencapai 60%. Ekspor-impor Indonesia
pertumbuhannya mengalami negatif, mengalami penurunan.
Ironinya, konsumsi
rumah tangga yang besar tidak diimbangi
dengan laju investasi, bahkan impor konsumsi Indonesia malah naik.
Menjadi suatu hal merugi bagi Indonesia jika potensi konsumsi besar tersebut
diramaikan oleh produk-produk impor. Lambat laun, hal demikian akan berdampak
semakin nyamannya ketimpangan yang terjadi.
Pada triwulan
I dan II tahun 2016 lebih banyak disumbangkan oleh sektor jasa. Pengamat
ekonomi menilai sektor jasa merupakan sektor non tradable atau tidak
menghasilkan barang dan tidak ada barang yang didagangkan. Indonesia memiliki
jumlah penduduk besar, jika hanya mengandalkan sektor jasa, akan sedikit tenaga
kerja yang diserap. Beda halnya jika sektor jasa bisa menghasilkan produk
dengan melibatkan pemilik modal dan tenaga kerja. Sehingga seluruh faktor
produksi menikmati kinerja ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas, tak hanya didominasi oleh sektor konsumsi, tapi juga
sektor produksi, investasi termasuk pertumbuhan sektoral yang memiliki daya
saing, seperti karet dan CPO. Kenyataan yang ada, sektor tradable dan non
tradable mengalami ketimpangan pertumbuhannya.
Pertumbuhan
industri baru 21%, meskipun dalam lima tahun sebelumnya mencapai 24%. Bersyukur,
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar. Diperlukan
strategi dalam mengolah SDA tersebut sehingga menghasilkan nilai tambah.
Gini ratio
Indonesai mencapai 0,39. Meski data yang dirilis oleh BPS merupakan data
pengeluaran, bukan pendapatan. Ketimpangan pengeluaran ini sudah menghasilkan
angka yang besar. Apalagi jika diukur dengan ketimpangan pendapatan, pastinya
akan lebih lebar lagi.
Indonesia
memiliki SDA yang luar biasa, namun sayangnya, sekitar 80% ekspor Indonesia
masih berupa produk komoditas. Sedangkan ekspor manufakturing baru 8,6%.
Berbeda jika dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia. Padahal
mereka beberapa tahun lalu masih belajar dari Indonesia.
Hal ini
berujung pada arah ekspor yang dilakukan pemerintah Indonesia. Yaitu pada
negara-negara industri seperti Amerika dan Jepang. Ini dilakukan, lantaran
hanya mengandalkan eskpro komoditas saja. Berbeda halnya jika Indonesia sudah
memiliki banyak produk-produk ekspor yang dimiliki. Negara-negara Timur Tengah
bisa menjadi negara yang pertama bersedia
menampung produk Indonesia.
Objek MEA
Keran
perdagangan ASEAN telah terbuka. Selama satu tahun terakhir, kenaikan barang
kondumsi ke Indonesia meningkat. Sedangkan untuk barang bakau dan penolong
malah menurun. Jika bahan baku dan penolong minus, mungkin bisa sjaa memberikan
peluang baik, yaitu dengan munculnya industrialiasai. Tapi kenyataannya industri
manufacturing masing dibawah. Hal ini menandakan tidak adanya pergerakan dari
industri. Maka terjadi de-industrialisasi, sehingga kebutuhan konsumsi rumah
tangga lebih banyak diperoleh dari impor.
Produk impor yang
masuk ke Indonesia selama satu tahun terakhir berasal dari negara-negara ASEAN,
dan impor terbesar adalah impor pangan. Indonesia menjadi objek MEA. Apakah
Indonesia akan terus menjadi objek? Berbagai upaya pun dilakukan. Setidaknya
sudah ada 12 paket stimulus fiskal di tahun 2015.
Paket stimulus
yang diharapkan bisa meningkatkan investasi, justru kenyataannya berbeda,
investasi malah menurun. Di Trwiulan I 2016, investasi yang tumbuh, hanya
investasi fisik, sedangkan investasi non fisik justru minus 2%. Investasi non
fisik ada di sektor riil, bisa berupa investasi modal dan membangun industri.
Sedangkan triwulan II, investasi menurun. Hal ini memberikan gambaran
menurunnya investasi, salah satunya disebabkan karena implementasi paket tidak
berjalan. Sehingga paket-pekat stimulus belum menjawab permasalahan.
Meski pada tahun
2015, persetujuan investasi di BKPM lebih dari Rp.1800. Ada ketertarikan investasi
yang mau masuk karena iming paket yang dijanjikan pemerintah. Tapi realisasi
yang mendapat persetujuan dari BPKM tadi hanya sekitar 35%. Berbeda pada tahun
sebelumnya bisa mencapai 50%.
Realisasi
investasi di Indonesia masih didominasi sektor tersier. Sampai dengan semester
pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan tenaga kerja
turun. Karena industri PMA yang padat
karya lay off, sementara investasi dan industri manufactur baru di Indonesia
berada di sektor industri tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi
dan penurunan kesempatan kerja.
Satu hal yang
perlu mendapay perhatian lebih. Di wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya
besar dan perbatasan pertumbuhan ekonomi di bawah PDRB. Hal ini bila dikaji secara
politis sangat beresiko tinggi, disamping itu wilayah tersebut juga mempunyai
tingkat ketahanan yang rentan. Pertama memiliki sumber daya yang luar biasa,
dan daerah perbatasan. Kalau tidak dikelola dengan baik, mereka bisa melepas
dari NKRI.
71 tahun
sudah. Jika industri yang dikembangkan bukan merupakan industri yang memiliki
nilai tambah. Artinya sektor perkembunan, pertanian akan tetap menjadi sektor
tradisional. Beda halnya jika, sektor tradisional dapat dihubungkan dengan
industri, sehingga ada kepastian permintaan. Sehingga ketika panen raya, harga
tidak jatuh. Karena ada kepastian harga dan permintaan sehingga memberikan
insentif buat petani, sehingga sektor pertanian akan terus sustainable
berproduksi. Industri pun akan demikian.
Dengan adanya
industri pengolahan dan sebagainya menciptakan produk, sektor perdagangan ,keuangan
dan transportasi sehingga menjadi pembentuk prime mover pertumbuhan ekonomi,
karena memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini mampu menarik gerbong
sektor tradisional sehingga memiliki nilai tambah. Seperti produk turunan
kelapa sawit dan karet. inilah yang akan menciptakan suatu pertumbuhan yang
inklusi. Pertumbuhan yang mampu menggerakkan seluruh swadaya yang ada di
perokomian. Ini yang diharapkan terciptanya pemerataan pembangunan.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar