Oleh: Septiadi
(Anggota IKAPOL IISIP Jakarta
dan Alumni Indef School of Political Economy/ISPE angkatan I)
Pertumbuhan industri di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir semakin
terpuruk. Meningkatkan daya saing industri menjadi sebuah keniscayaan. Paket
kebijakan ekonomi pun dikeluarkan guna meningkatkan daya saing. Bagaimana daya saing
industri Indonesia pasca paket kebijakan ekonomi?
Setahun sudah
pemerintah mengeluarkan 13 Paket Kebijakan Ekonomi. Paket kebijakan melalui
deregulasi, debirokratisasi dan insentif fiskal ini diharapkan perekonomian
nasional dapat bertahan serta dapat merespon secara cepat keluar dari situasi
ekonomi global yang terus melambat.
Daya saing
menjadi keniscayaan. Daya saing perekonomian nasional perlu digenjot, tidak
hanya di pasar dalam negeri tapi juga ditingkat internasional. Juga mendorong
pelaku usaha di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar tumbuh dan
berkembang menjadi besar. Pintu pasar bebas ASEAN telah terbuka, persaingan
antarnegara semakin ketat dengan standar mutu produk dan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang kian tinggi.
Berbagai peraturan
telah dibuat atau merevisi peraturan yang ada untuk mendukung paket kebijakan
ekonomi ini, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi
Presiden, maupun di tingkat
kementerian/lembaga. Intinya bagaimana pelaksanaan paket kebijakan ini bisa
berjalan konsisten dari pusat sampai ke daerah.
Satuan tugas
(satgas) maupun mekanisme pemantauan pelaksanaan paket kebijakan ini sudah
dibentuk, sehingga dapat memantau pelaksanaannya. Yang terpenting adalah peran
masyarakat dalam melihat dan mengawasi secara langsung pelaksanaan berbagai
Paket Kebijakan Ekonomi itu dilapangan, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau masih
banyak kendala.
Jauh dari Harapan
Paket
kebijakan mengarah ke beberapa sektor, kali ini kita mencoba menelaah sektor
industri. Paket Kebijakan Ekonomi diharapkan meningkatkan daya saing industri
nusantara. Namun apa yang terjadi?
Investasi pada triwulan II 2016 mengalami penurunan, sehingga paket
stimulus fiskal yang alih-alih meningkatkan investasi, tapi kenyataannya
kontraproduktif. Idealnya paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berdampak
pada meningkatnya investasi di Indonesia. Persoalannya bukan sekadar tidak naik, tetapi
justru turun. Porsi GDP yang tadinya sudah 34%, malah sekarang tinggal 33%, ada
penurunan.
Meskipun ada
peningkatan investasi, itupun didominasi investasi di sektor tersier. Ketika
pemerintah mengeluarkan biaya, semestinya dapat memperbaiki dan mempercepat industri-industri
manufaktur yang memiliki nilai tambah. Selain itu, untuk menjawab persoalan
pengangguran yang semakin meningkat dibutuhkan industri-industri yang padat
karya. Kenyataannya selama 2015, industri padat karya justru minus 12%.
Sampai dengan
semester pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan
tenaga kerja turun. Karena industri PMA
yang padat karya lay off, sementara
investasi dan industri manufaktur baru di Indonesia berada di sektor industri
tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi dan penurunan kesempatan
kerja.
Beberapa tahun
belakangan ekspor komoditi meningkat, sehingga orang meninggalkan industri.
Tanda-tandanya dapat terlihat dengan semakin melambatnya industri pada triwulan
II tahun 2015 dan disusul pada triwulan I tahun 2016, pertumbuhan industri
menurun di bawah pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, kontribusi industri
nasional terhadap PDB juga terus menurun.
Ekspor
produk-produk industri nasional juga mengalami penurunan. Produk industri nasional hanya memberikan share sebesar 0,56% dari 12,065.58
miliar USD ekspor produk industri dunia, yaitu sebesar 67,80 miliar USD.
Tak hanya itu,
terkait dengan SME, di ASEAN saja produk industri nasional tidak sampai 1%,
tepatnya 0,8% dari 9,3% share ASEAN. Memang tidak dipungkiri,
industri besar sedang (IBS)dan industri
mikro kecil (IMK) sebenarnya tumbuh. Namun, jika diurai satu persatu antara IBS
dan IMK, masing-masing tidak memiliki pertumbuhan secara bersama, bahkan jenis
produk yang dihasilkan tidak sama. Sehingga IMK tidak bisa menjadi pemasok IBS.
Peningkatan
daya saing menjadi penentu. Untuk menuju daya saing yang tinggi. Harus
dipikirkan bagaimana arah industri nasional, apakah berbasis sumber daya alam
(SDA)dan padat karya? Sehingga fokus industri berbasis SDA dan SDM. Selama ini,
kontribusi industri terhadap PDB juga terus turun. Kalaupun Indonesia mau
disebut negara industri, seharusnya pertumbuhan industrinya diatas 40%, namun
kenyataannya, Indonesia untuk menuju negara semi industri saja belum bisa. Mau
jadi apa sebenarnya Indonesia?.
Jika pengembangan
industri nasional difokuskan pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam
pada industri hulu berbasis agro, mineral, serta migas dan batubara. Hal
tersebut harus disosialisasi bahwa industri ini akan dijadikan unggulan
sehingga terbuka peluang investasi dan memudahkan bagi calon investor.
Indonesia
memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Namun SDM yang terserap ke industri masih
didominasi lulusan pendidikan SD, SMP dan SMA. Sekitar 120-130 juta tenaga kerja Indonesia, dari
jumpah tersebut 90 juta itu terdiri dari (SD,SMP, dan SMA), dan paling banyak lulusan
SD. Memang banyak tenaga kerja yang terserap dan kontribusi terhadap GDP juga
besar, namun sayang produk industri yang bisa diekspor masih sedikit.
Besarnya
tenaga kerja yang berpendidikan SD, SMP dan SMA berpengaruh pada performance daya saing industri
nasional. Indonesia menduduki peringkat 40 pada indek performance daya saing. Ada sekitar 8000 produk industri yang
berdaya saing tinggi di negara-negara ASEAN, namun hanya ada 100 produk
industri nasional yang dianggap memiliki daya saing kuat.
Satu hal yang
tidak bisa dianggap remeh yaitu masalah biaya logistik yang terlalu tinggi
sehingga memengaruhi pertumbuhan industri nasional. Biaya logistik yang
dikeluarkan bisa mencapai 20%, dan itu tidak pernah terpikirkan. Seperti biaya
pelepasan pabrik, pembersihan, asuransi dan segala macam.
Ekonomi Global
Dua tahun
terakhir merupakan momentum berat bagi perekonomian global. Perubahan begitu
cepat, sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu cepat, tiba-tiba
mandek. Negara-negara maju kehilangan momentum, dan negara-negara berkembang
“berantakan”. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi sebesar 5% terbilang belum
cukup bagi Indonesia.
Melihat
pertumbuhan industri di negara maju perbandingannya 60%-40%. 60% ekspor
industri, 30% ekspor komoditi dan 10% ekspor lain. Sedangkan di Indonesia, ekspor
komoditi sebesar 65% , 25%-30% ekspor manufaktur, 5% lain-lain seperti
pariwisata dan segala macam.
Nah,
dari kondisi tersebut, apakah Indonesia harus
menerima saja kondisi global yang terjadi? Tentunya tidak. Sudah ada paket
kebijakan ekonomi untuk menghadapi itu. Suatu hal penting, bagaimana industri
memiliki daya saing, salah satunya dengan melakukan produksi di dalam negeri.
Setidaknya
ada beberapa hal yang dibutuhkan industri. Pertama infrastruktur. Infrastruktur
tidak lagi dikonotasikan sebagai jalanan, tapi bisa meliputi pelabuhan, ketersediaan
listrik, lahan dan sebagainya. Kedua, bagaimana memikirkan agar industri
nusantara memiliki daya saing, ditengah harga gas nasional paling mahal di
dunia. Gas dan listrik menjadi hal penting dalam industri. Ketiga, ketersediaan
bahan baku yang murah.
Industri
sebenarnya ada dua kekuatan yang menopangnya, yaitu energi dan man power. Energi masih dianggap sebagai revenue, bukan sebagai pengungkit di
industri. Sementara man power masih
banyak SD, SMP, dan SMA. Asosiasi sektoral seharusnya sudah bisa menentukan
standardisasi kompetensi yang diharapkan dari pekerjanya. Meskipun sudah ada
badan sertifikasi, tapi untuk SDM tak sekadar sertifikasi saja. PR besar bagi industri
yaitu menentukan standardisasi kompetensi.
Evaluasi paket
kebijakan ekonomi perlu dilakukan, salah satunya bagaimana tercipta harmonisasi
peraturan antara pemerintah pusat dengan dibawahnya. Bercermin dari kesuksesan
Thailand. Di Thailand ada board
investment , kalau di Indonesia semacam BKPM. Bedanya, board tersebut diketuai oleh Perdana Menteri. Apa yang sudah
diputuskan oleh board, akan
dilaksanakan dibawahnya. Sedangkan di Indonesia, ketika BKPM sudah memutuskan,
tapi implementasinya bagaimana?.
Paket
kebijakan belum dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga belum efektif. Dibutuhkan
langkah yang sama di semua kementerian dan lembaga untuk mempercepat program
hilirisasi. Memperkenalkan kebijakan industri dalam negeri di ajang dunia. Selain
itu, perlu menjalankan sepenuhnya tindakan pengamanan sesuai dengan instrumen
pengamanan perdagangan, yaitu trade
remedies (anti-dumping & safeguards) dan menjalankan Industrial Intelligence yang
dikerjasamakan persiapannya antara Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Direktorat Jenderal Bea & Cukai, dan asosiasi sektoralnya.
Kadang kita
mengeluh, kenapa Indonesia kalah dengan negara seperti Vietnam dan Thailand. Keluhan tersebut seharusnya dibarengi
pada upaya peningkatan daya saing. Dengan daya saing yang tinggi, tentunya
produk industri nasional tidak akan kalah, baik di dalam maupun di luar negeri.
semoga