Kamis, 20 Oktober 2016

Pertumbuhan Industri Indonesia Tersandung Daya Saing



Oleh: Septiadi
 (Anggota IKAPOL IISIP Jakarta dan Alumni Indef School of Political Economy/ISPE angkatan I)
Pertumbuhan industri di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir semakin terpuruk. Meningkatkan daya saing industri menjadi sebuah keniscayaan. Paket kebijakan ekonomi pun dikeluarkan guna  meningkatkan daya saing. Bagaimana daya saing industri Indonesia pasca paket kebijakan ekonomi?
Setahun sudah pemerintah mengeluarkan 13 Paket Kebijakan Ekonomi. Paket kebijakan melalui deregulasi, debirokratisasi dan insentif fiskal ini diharapkan perekonomian nasional dapat bertahan serta dapat merespon secara cepat keluar dari situasi ekonomi global yang terus melambat.
Daya saing menjadi keniscayaan. Daya saing perekonomian nasional perlu digenjot, tidak hanya di pasar dalam negeri tapi juga ditingkat internasional. Juga mendorong pelaku usaha di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar tumbuh dan berkembang menjadi besar. Pintu pasar bebas ASEAN telah terbuka, persaingan antarnegara semakin ketat dengan standar mutu produk dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kian tinggi.
Berbagai peraturan telah dibuat atau merevisi peraturan yang ada untuk mendukung paket kebijakan ekonomi ini, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden,  maupun di tingkat kementerian/lembaga. Intinya bagaimana pelaksanaan paket kebijakan ini bisa berjalan konsisten dari pusat sampai ke daerah.
Satuan tugas (satgas) maupun mekanisme pemantauan pelaksanaan paket kebijakan ini sudah dibentuk, sehingga dapat memantau pelaksanaannya. Yang terpenting adalah peran masyarakat dalam melihat dan mengawasi secara langsung pelaksanaan berbagai Paket Kebijakan Ekonomi itu dilapangan, apakah sudah sesuai dengan tujuan atau masih banyak kendala.
Jauh dari Harapan
Paket kebijakan mengarah ke beberapa sektor, kali ini kita mencoba menelaah sektor industri. Paket Kebijakan Ekonomi diharapkan meningkatkan daya saing industri nusantara. Namun apa yang terjadi?  Investasi pada triwulan II 2016 mengalami penurunan, sehingga paket stimulus fiskal yang alih-alih meningkatkan investasi, tapi kenyataannya kontraproduktif. Idealnya paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan berdampak pada meningkatnya investasi di Indonesia.  Persoalannya bukan sekadar tidak naik, tetapi justru turun. Porsi GDP yang tadinya sudah 34%, malah sekarang tinggal 33%, ada penurunan.
Meskipun ada peningkatan investasi, itupun didominasi investasi di sektor tersier. Ketika pemerintah mengeluarkan biaya, semestinya dapat memperbaiki dan mempercepat industri-industri manufaktur yang memiliki nilai tambah. Selain itu, untuk menjawab persoalan pengangguran yang semakin meningkat dibutuhkan industri-industri yang padat karya. Kenyataannya selama 2015, industri padat karya justru minus 12%.
Sampai dengan semester pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan tenaga kerja turun.  Karena industri PMA yang padat karya lay off, sementara investasi dan industri manufaktur baru di Indonesia berada di sektor industri tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi dan penurunan kesempatan kerja.
Beberapa tahun belakangan ekspor komoditi meningkat, sehingga orang meninggalkan industri. Tanda-tandanya dapat terlihat dengan semakin melambatnya industri pada triwulan II tahun 2015 dan disusul pada triwulan I tahun 2016, pertumbuhan industri menurun di bawah pertumbuhan ekonomi. Tak hanya itu, kontribusi industri nasional terhadap PDB juga terus menurun.
Ekspor produk-produk industri nasional juga mengalami penurunan.  Produk industri nasional hanya memberikan share sebesar 0,56% dari 12,065.58 miliar USD ekspor produk industri dunia, yaitu sebesar 67,80 miliar USD.
Tak hanya itu, terkait dengan SME, di ASEAN saja produk industri nasional tidak sampai 1%, tepatnya 0,8%  dari 9,3% share ASEAN. Memang tidak dipungkiri, industri besar sedang  (IBS)dan industri mikro kecil (IMK) sebenarnya tumbuh. Namun, jika diurai satu persatu antara IBS dan IMK, masing-masing tidak memiliki pertumbuhan secara bersama, bahkan jenis produk yang dihasilkan tidak sama. Sehingga IMK tidak bisa menjadi pemasok IBS.
Peningkatan daya saing menjadi penentu. Untuk menuju daya saing yang tinggi. Harus dipikirkan bagaimana arah industri nasional, apakah berbasis sumber daya alam (SDA)dan padat karya? Sehingga fokus industri berbasis SDA dan SDM. Selama ini, kontribusi industri terhadap PDB juga terus turun. Kalaupun Indonesia mau disebut negara industri, seharusnya pertumbuhan industrinya diatas 40%, namun kenyataannya, Indonesia untuk menuju negara semi industri saja belum bisa. Mau jadi apa sebenarnya Indonesia?.
Jika pengembangan industri nasional difokuskan pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam pada industri hulu berbasis agro, mineral, serta migas dan batubara. Hal tersebut harus disosialisasi bahwa industri ini akan dijadikan unggulan sehingga terbuka peluang investasi dan memudahkan bagi calon investor.
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Namun SDM yang terserap ke industri masih didominasi lulusan pendidikan SD, SMP dan SMA. Sekitar  120-130 juta tenaga kerja Indonesia, dari jumpah tersebut 90 juta itu terdiri dari (SD,SMP, dan SMA), dan paling banyak lulusan SD. Memang banyak tenaga kerja yang terserap dan kontribusi terhadap GDP juga besar, namun sayang produk industri yang bisa diekspor masih sedikit.
Besarnya tenaga kerja yang berpendidikan SD, SMP dan SMA berpengaruh pada performance daya saing industri nasional. Indonesia menduduki peringkat 40 pada indek performance daya saing. Ada sekitar 8000 produk industri yang berdaya saing tinggi di negara-negara ASEAN, namun hanya ada 100 produk industri nasional yang dianggap memiliki daya saing kuat.
Satu hal yang tidak bisa dianggap remeh yaitu masalah biaya logistik yang terlalu tinggi sehingga memengaruhi pertumbuhan industri nasional. Biaya logistik yang dikeluarkan bisa mencapai 20%, dan itu tidak pernah terpikirkan. Seperti biaya pelepasan pabrik, pembersihan, asuransi dan segala macam.
Ekonomi Global
Dua tahun terakhir merupakan momentum berat bagi perekonomian global. Perubahan begitu cepat, sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu cepat, tiba-tiba mandek. Negara-negara maju kehilangan momentum, dan negara-negara berkembang “berantakan”. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi sebesar 5% terbilang belum cukup bagi Indonesia.
                Melihat pertumbuhan industri di negara maju perbandingannya 60%-40%. 60% ekspor industri, 30% ekspor komoditi dan 10% ekspor lain. Sedangkan di Indonesia, ekspor komoditi sebesar 65% , 25%-30% ekspor manufaktur, 5% lain-lain seperti pariwisata dan segala macam.
                Nah, dari  kondisi tersebut, apakah Indonesia harus menerima saja kondisi global yang terjadi? Tentunya tidak. Sudah ada paket kebijakan ekonomi untuk menghadapi itu. Suatu hal penting, bagaimana industri memiliki daya saing, salah satunya dengan melakukan produksi di dalam negeri.
                Setidaknya ada beberapa hal yang dibutuhkan industri. Pertama infrastruktur. Infrastruktur tidak lagi dikonotasikan sebagai jalanan, tapi bisa meliputi pelabuhan, ketersediaan listrik, lahan dan sebagainya. Kedua, bagaimana memikirkan agar industri nusantara memiliki daya saing, ditengah harga gas nasional paling mahal di dunia. Gas dan listrik menjadi hal penting dalam industri. Ketiga, ketersediaan bahan baku yang murah.
                Industri sebenarnya ada dua kekuatan yang menopangnya, yaitu energi dan man power.  Energi masih dianggap sebagai revenue, bukan sebagai pengungkit di industri. Sementara man power masih banyak SD, SMP, dan SMA. Asosiasi sektoral seharusnya sudah bisa menentukan standardisasi kompetensi yang diharapkan dari pekerjanya. Meskipun sudah ada badan sertifikasi, tapi untuk SDM tak sekadar sertifikasi saja. PR besar bagi industri yaitu menentukan standardisasi kompetensi.
Evaluasi paket kebijakan ekonomi perlu dilakukan, salah satunya bagaimana tercipta harmonisasi peraturan antara pemerintah pusat dengan dibawahnya. Bercermin dari kesuksesan Thailand. Di Thailand ada board investment , kalau di Indonesia semacam BKPM. Bedanya, board tersebut diketuai oleh Perdana Menteri. Apa yang sudah diputuskan oleh board, akan dilaksanakan dibawahnya. Sedangkan di Indonesia, ketika BKPM sudah memutuskan, tapi implementasinya bagaimana?.
Paket kebijakan belum dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga belum efektif. Dibutuhkan langkah yang sama di semua kementerian dan lembaga untuk mempercepat program hilirisasi. Memperkenalkan kebijakan industri dalam negeri di ajang dunia. Selain itu, perlu menjalankan sepenuhnya tindakan pengamanan sesuai dengan instrumen pengamanan perdagangan, yaitu trade remedies (anti-dumping & safeguards) dan menjalankan Industrial Intelligence yang dikerjasamakan persiapannya antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Bea & Cukai, dan asosiasi sektoralnya.  
Kadang kita mengeluh, kenapa Indonesia kalah dengan negara seperti Vietnam dan  Thailand. Keluhan tersebut seharusnya dibarengi pada upaya peningkatan daya saing. Dengan daya saing yang tinggi, tentunya produk industri nasional tidak akan kalah, baik di dalam maupun di luar negeri.
semoga

71 Tahun Indonesia Digoyang Ketimpangan



Oleh Septiadi
 (alumni IISIP Jakarta dan Indef School Political Economy (ISPE)angkatan I)

Tak terasa, 71 tahun sudah Indonesia menikmati masa kemderdekaannya. Kemerdekaan yang diraih oleh para pendiri bangsa ini semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia. Semangat memakmurkan dan mensejahterakan bangsa dan negara Indonesia juga dimasukan ke dalam pondasi konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945.
Kemakmuran dan kesejahteraan menjadi indikator tolok ukur bagi pemerintah dalam mewujudkan tujuan kemerdekaan.  Berhasil atau tidaknya kinerja pemerintah dapat dilihat dari berapa besar ketimpangan kesejahteraan yang dialami warganya.
Dengan adanya ketimpangan kinerja ekonomi menjadi tidak optimal, dikarenakan masih ada sumber-sumber ekonomi yang nganggur (idle). Demikian halnya jika ada wilayah yang masih mengalami ketimpangan, hal menandakan masih ada sumber daya di wilayah tersebut belum optimal, termasuk ketimpangan antara desa dan kota.
Indonesia banyak memiliki potensi, namun dalam proses pembangunan belum memberdayakan potensi tersebut dengan maksimal. Negara harus segera memandu jalannya perekonomian agar lebih harmonis, sehingga ketimpangan tidak menjadi-jadi.  Karena jika dilihat secara ekonomi maupun politik, ketimpangan mengakibatkan kinerja pembangunan tidak optimal.
Menelisik data pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ditengah perlambatan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih 5%. Dari pertumbuhan Indonesia, sekitar 54% berasal dari konsumsi rumah tangga.  Jika ditambah dengan konsumsi pemerintah bisa mencapai 60%. Ekspor-impor Indonesia pertumbuhannya mengalami negatif, mengalami penurunan. 
Ironinya, konsumsi rumah tangga yang besar tidak diimbangi  dengan laju investasi, bahkan impor konsumsi Indonesia malah naik. Menjadi suatu hal merugi bagi Indonesia jika potensi konsumsi besar tersebut diramaikan oleh produk-produk impor. Lambat laun, hal demikian akan berdampak semakin nyamannya ketimpangan yang terjadi.
Pada triwulan I dan II tahun 2016 lebih banyak disumbangkan oleh sektor jasa. Pengamat ekonomi menilai sektor jasa merupakan sektor non tradable atau tidak menghasilkan barang dan tidak ada barang yang didagangkan. Indonesia memiliki jumlah penduduk besar, jika hanya mengandalkan sektor jasa, akan sedikit tenaga kerja yang diserap. Beda halnya jika sektor jasa bisa menghasilkan produk dengan melibatkan pemilik modal dan tenaga kerja. Sehingga seluruh faktor produksi menikmati kinerja ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, tak hanya didominasi oleh sektor konsumsi, tapi juga sektor produksi, investasi termasuk pertumbuhan sektoral yang memiliki daya saing, seperti karet dan CPO. Kenyataan yang ada, sektor tradable dan non tradable mengalami ketimpangan pertumbuhannya.
Pertumbuhan industri baru 21%, meskipun dalam lima tahun sebelumnya mencapai 24%. Bersyukur, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar. Diperlukan strategi dalam mengolah SDA tersebut sehingga menghasilkan nilai tambah.
Gini ratio Indonesai mencapai 0,39. Meski data yang dirilis oleh BPS merupakan data pengeluaran, bukan pendapatan. Ketimpangan pengeluaran ini sudah menghasilkan angka yang besar. Apalagi jika diukur dengan ketimpangan pendapatan, pastinya akan lebih lebar lagi.
Indonesia memiliki SDA yang luar biasa, namun sayangnya, sekitar 80% ekspor Indonesia masih berupa produk komoditas. Sedangkan ekspor manufakturing baru 8,6%. Berbeda jika dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia. Padahal mereka beberapa tahun lalu masih belajar dari Indonesia.

Hal ini berujung pada arah ekspor yang dilakukan pemerintah Indonesia. Yaitu pada negara-negara industri seperti Amerika dan Jepang. Ini dilakukan, lantaran hanya mengandalkan eskpro komoditas saja. Berbeda halnya jika Indonesia sudah memiliki banyak produk-produk ekspor yang dimiliki. Negara-negara Timur Tengah bisa menjadi negara yang pertama bersedia  menampung produk Indonesia.
Objek MEA
                Keran perdagangan ASEAN telah terbuka. Selama satu tahun terakhir, kenaikan barang kondumsi ke Indonesia meningkat. Sedangkan untuk barang bakau dan penolong malah menurun. Jika bahan baku dan penolong minus, mungkin bisa sjaa memberikan peluang baik, yaitu dengan munculnya industrialiasai. Tapi kenyataannya industri manufacturing masing dibawah. Hal ini menandakan tidak adanya pergerakan dari industri. Maka terjadi de-industrialisasi, sehingga kebutuhan konsumsi rumah tangga lebih banyak diperoleh dari impor.
Produk impor yang masuk ke Indonesia selama satu tahun terakhir berasal dari negara-negara ASEAN, dan impor terbesar adalah impor pangan. Indonesia menjadi objek MEA. Apakah Indonesia akan terus menjadi objek? Berbagai upaya pun dilakukan. Setidaknya sudah ada 12 paket stimulus fiskal di tahun 2015.
Paket stimulus yang diharapkan bisa meningkatkan investasi, justru kenyataannya berbeda, investasi malah menurun. Di Trwiulan I 2016, investasi yang tumbuh, hanya investasi fisik, sedangkan investasi non fisik justru minus 2%. Investasi non fisik ada di sektor riil, bisa berupa investasi modal dan membangun industri. Sedangkan triwulan II, investasi menurun. Hal ini memberikan gambaran menurunnya investasi, salah satunya disebabkan karena implementasi paket tidak berjalan. Sehingga paket-pekat stimulus belum menjawab permasalahan.
Meski pada tahun 2015, persetujuan investasi di BKPM lebih dari Rp.1800. Ada ketertarikan investasi yang mau masuk karena iming paket yang dijanjikan pemerintah. Tapi realisasi yang mendapat persetujuan dari BPKM tadi hanya sekitar 35%. Berbeda pada tahun sebelumnya bisa mencapai 50%.
Realisasi investasi di Indonesia masih didominasi sektor tersier. Sampai dengan semester pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan tenaga kerja turun.  Karena industri PMA yang padat karya lay off, sementara investasi dan industri manufactur baru di Indonesia berada di sektor industri tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi dan penurunan kesempatan kerja.
Satu hal yang perlu mendapay perhatian lebih. Di wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya besar dan perbatasan pertumbuhan ekonomi di bawah PDRB. Hal ini bila dikaji secara politis sangat beresiko tinggi, disamping itu wilayah tersebut juga mempunyai tingkat ketahanan yang rentan. Pertama memiliki sumber daya yang luar biasa, dan daerah perbatasan. Kalau tidak dikelola dengan baik, mereka bisa melepas dari NKRI.
71 tahun sudah. Jika industri yang dikembangkan bukan merupakan industri yang memiliki nilai tambah. Artinya sektor perkembunan, pertanian akan tetap menjadi sektor tradisional. Beda halnya jika, sektor tradisional dapat dihubungkan dengan industri, sehingga ada kepastian permintaan. Sehingga ketika panen raya, harga tidak jatuh. Karena ada kepastian harga dan permintaan sehingga memberikan insentif buat petani, sehingga sektor pertanian akan terus sustainable berproduksi. Industri pun akan demikian.
Dengan adanya industri pengolahan dan sebagainya menciptakan produk, sektor perdagangan ,keuangan dan transportasi sehingga menjadi pembentuk prime mover pertumbuhan ekonomi, karena memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini mampu menarik gerbong sektor tradisional sehingga memiliki nilai tambah. Seperti produk turunan kelapa sawit dan karet. inilah yang akan menciptakan suatu pertumbuhan yang inklusi. Pertumbuhan yang mampu menggerakkan seluruh swadaya yang ada di perokomian. Ini yang diharapkan terciptanya pemerataan pembangunan.
Semoga.






71 Tahun Indonesia Digoyang Ketimpangan



71 Tahun Indonesia Digoyang Ketimpangan
Oleh Septiadi
 (Anggota IKAPOL IISIP Jakarta dan Indef School Political Economy (ISPE) angkatan I)

Tak terasa, 71 tahun sudah Indonesia menikmati masa kemderdekaannya. Kemerdekaan yang diraih oleh para pendiri bangsa ini semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara Indonesia. Semangat memakmurkan dan mensejahterakan bangsa dan negara Indonesia juga dimasukan ke dalam pondasi konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945.
Kemakmuran dan kesejahteraan menjadi indikator tolok ukur bagi pemerintah dalam mewujudkan tujuan kemerdekaan.  Berhasil atau tidaknya kinerja pemerintah dapat dilihat dari berapa besar ketimpangan kesejahteraan yang dialami warganya.
Dengan adanya ketimpangan kinerja ekonomi menjadi tidak optimal, dikarenakan masih ada sumber-sumber ekonomi yang nganggur (idle). Demikian halnya jika ada wilayah yang masih mengalami ketimpangan, hal menandakan masih ada sumber daya di wilayah tersebut belum optimal, termasuk ketimpangan antara desa dan kota.
Indonesia banyak memiliki potensi, namun dalam proses pembangunan belum memberdayakan potensi tersebut dengan maksimal. Negara harus segera memandu jalannya perekonomian agar lebih harmonis, sehingga ketimpangan tidak menjadi-jadi.  Karena jika dilihat secara ekonomi maupun politik, ketimpangan mengakibatkan kinerja pembangunan tidak optimal.
Menelisik data pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ditengah perlambatan ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih 5%. Dari pertumbuhan Indonesia, sekitar 54% berasal dari konsumsi rumah tangga.  Jika ditambah dengan konsumsi pemerintah bisa mencapai 60%. Ekspor-impor Indonesia pertumbuhannya mengalami negatif, mengalami penurunan. 
Ironinya, konsumsi rumah tangga yang besar tidak diimbangi  dengan laju investasi, bahkan impor konsumsi Indonesia malah naik. Menjadi suatu hal merugi bagi Indonesia jika potensi konsumsi besar tersebut diramaikan oleh produk-produk impor. Lambat laun, hal demikian akan berdampak semakin nyamannya ketimpangan yang terjadi.
Pada triwulan I dan II tahun 2016 lebih banyak disumbangkan oleh sektor jasa. Pengamat ekonomi menilai sektor jasa merupakan sektor non tradable atau tidak menghasilkan barang dan tidak ada barang yang didagangkan. Indonesia memiliki jumlah penduduk besar, jika hanya mengandalkan sektor jasa, akan sedikit tenaga kerja yang diserap. Beda halnya jika sektor jasa bisa menghasilkan produk dengan melibatkan pemilik modal dan tenaga kerja. Sehingga seluruh faktor produksi menikmati kinerja ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, tak hanya didominasi oleh sektor konsumsi, tapi juga sektor produksi, investasi termasuk pertumbuhan sektoral yang memiliki daya saing, seperti karet dan CPO. Kenyataan yang ada, sektor tradable dan non tradable mengalami ketimpangan pertumbuhannya.
Pertumbuhan industri baru 21%, meskipun dalam lima tahun sebelumnya mencapai 24%. Bersyukur, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar. Diperlukan strategi dalam mengolah SDA tersebut sehingga menghasilkan nilai tambah.
Gini ratio Indonesai mencapai 0,39. Meski data yang dirilis oleh BPS merupakan data pengeluaran, bukan pendapatan. Ketimpangan pengeluaran ini sudah menghasilkan angka yang besar. Apalagi jika diukur dengan ketimpangan pendapatan, pastinya akan lebih lebar lagi.
Indonesia memiliki SDA yang luar biasa, namun sayangnya, sekitar 80% ekspor Indonesia masih berupa produk komoditas. Sedangkan ekspor manufakturing baru 8,6%. Berbeda jika dibandingkan negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia. Padahal mereka beberapa tahun lalu masih belajar dari Indonesia.
 
Hal ini berujung pada arah ekspor yang dilakukan pemerintah Indonesia. Yaitu pada negara-negara industri seperti Amerika dan Jepang. Ini dilakukan, lantaran hanya mengandalkan eskpro komoditas saja. Berbeda halnya jika Indonesia sudah memiliki banyak produk-produk ekspor yang dimiliki. Negara-negara Timur Tengah bisa menjadi negara yang pertama bersedia  menampung produk Indonesia. 

Objek MEA
                Keran perdagangan ASEAN telah terbuka. Selama satu tahun terakhir, kenaikan barang kondumsi ke Indonesia meningkat. Sedangkan untuk barang bakau dan penolong malah menurun. Jika bahan baku dan penolong minus, mungkin bisa sjaa memberikan peluang baik, yaitu dengan munculnya industrialiasai. Tapi kenyataannya industri manufacturing masing dibawah. Hal ini menandakan tidak adanya pergerakan dari industri. Maka terjadi de-industrialisasi, sehingga kebutuhan konsumsi rumah tangga lebih banyak diperoleh dari impor.
Produk impor yang masuk ke Indonesia selama satu tahun terakhir berasal dari negara-negara ASEAN, dan impor terbesar adalah impor pangan. Indonesia menjadi objek MEA. Apakah Indonesia akan terus menjadi objek? Berbagai upaya pun dilakukan. Setidaknya sudah ada 12 paket stimulus fiskal di tahun 2015.
Paket stimulus yang diharapkan bisa meningkatkan investasi, justru kenyataannya berbeda, investasi malah menurun. Di Trwiulan I 2016, investasi yang tumbuh, hanya investasi fisik, sedangkan investasi non fisik justru minus 2%. Investasi non fisik ada di sektor riil, bisa berupa investasi modal dan membangun industri. Sedangkan triwulan II, investasi menurun. Hal ini memberikan gambaran menurunnya investasi, salah satunya disebabkan karena implementasi paket tidak berjalan. Sehingga paket-pekat stimulus belum menjawab permasalahan.
Meski pada tahun 2015, persetujuan investasi di BKPM lebih dari Rp.1800. Ada ketertarikan investasi yang mau masuk karena iming paket yang dijanjikan pemerintah. Tapi realisasi yang mendapat persetujuan dari BPKM tadi hanya sekitar 35%. Berbeda pada tahun sebelumnya bisa mencapai 50%.
Realisasi investasi di Indonesia masih didominasi sektor tersier. Sampai dengan semester pertama 2016, PMA meski ada peningkatan investasi, tapi penyerapan tenaga kerja turun.  Karena industri PMA yang padat karya lay off, sementara investasi dan industri manufactur baru di Indonesia berada di sektor industri tersier. Ini yang menimbulkan peningkatan investasi dan penurunan kesempatan kerja.
Satu hal yang perlu mendapay perhatian lebih. Di wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya besar dan perbatasan pertumbuhan ekonomi di bawah PDRB. Hal ini bila dikaji secara politis sangat beresiko tinggi, disamping itu wilayah tersebut juga mempunyai tingkat ketahanan yang rentan. Pertama memiliki sumber daya yang luar biasa, dan daerah perbatasan. Kalau tidak dikelola dengan baik, mereka bisa melepas dari NKRI.
71 tahun sudah. Jika industri yang dikembangkan bukan merupakan industri yang memiliki nilai tambah. Artinya sektor perkembunan, pertanian akan tetap menjadi sektor tradisional. Beda halnya jika, sektor tradisional dapat dihubungkan dengan industri, sehingga ada kepastian permintaan. Sehingga ketika panen raya, harga tidak jatuh. Karena ada kepastian harga dan permintaan sehingga memberikan insentif buat petani, sehingga sektor pertanian akan terus sustainable berproduksi. Industri pun akan demikian.
Dengan adanya industri pengolahan dan sebagainya menciptakan produk, sektor perdagangan ,keuangan dan transportasi sehingga menjadi pembentuk prime mover pertumbuhan ekonomi, karena memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini mampu menarik gerbong sektor tradisional sehingga memiliki nilai tambah. Seperti produk turunan kelapa sawit dan karet. inilah yang akan menciptakan suatu pertumbuhan yang inklusi. Pertumbuhan yang mampu menggerakkan seluruh swadaya yang ada di perokomian. Ini yang diharapkan terciptanya pemerataan pembangunan.
Semoga.