Berdasar hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat enam Bank Pembangunan Daera(BPD) yang disinyalir memberikan fee, hadiah, dan fasiitas kepada kepala daerah yang dinikmati untuk kepentingan pribadi. Enam BPD tersebut adalah BPD Sumatera Utara Rp53,811 miliar, BPD Jawa Barat-Banten Rp148,287 miliar, BPD Jawa Tengah Rp51,064 miliar, BPD Jawa Timur Rp71,483 miliar, BPD Kalimantan Timur Rp18,591 miliar, dan Bank DKI Rp17,075 miliar.
KPK juga memeriksa kepala daerah yang menikmati ‘upeti’ dari BPD. Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, setoran dari BPD itu jumlahnya mencapai ratusan miliar rapiah."Saat ini sudah ada enam kepala daerah yang kami periksa. Dari enam itu, sekitar Rp 360 miliar yang sudah disetor kepada kepala daerah dari BPD. Sementara, 27 daerah lagi yang akan menyusul kita (KPK) periksa," jelas Haryono.
Haryono menjelaskan, jumlah ‘upeti’ atau setoran illegal yang diterima setiap kepala daerah sangat bervariatif dan bermacam bentuk. Haryono juga mengatakan, setoran dana dari BPD itu diberikan berupa bunga atau fee dan tidak masuk ke kas Negara, melainkan masuk ke saku pribadi kepala daerah.
"Uang yang disetor kepala daerah biasanya ditujukan sebagai ucapan terima kasih karena mereka sudah menyimpan dana APBD di bank tersebut. Uang itu biasanya dikirim langsung ke rekening pribadi kepala daerah," paparnya.
Seharusnya, lanjut Haryono, uang tersebut dimasukan ke kas daerah. Karena itu, KPK mengimbau kepada selurah kepala daerah untuk segera mengembalikan uang setoran tersebut. Sebab setoran itu merupakan uang negara dan tidak boleh dinikmati secara pribadi. Menurut Haryono, KPK telah koordinasi dengan BI dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk memberitahukan kepada BPD agar tidak lagi memberikan bunga kepada kepala daerah. Begitu halnya dengan kepala daerah, untuk menolak setoran illegal dari BPD. Meskipun sudah terlanjur mendapatkan, bisa langsung dilaporkan.
Untuk koordinasi dengan Depdagri, pihaknya sudah memberikan masukan kepada kepala daerah agar tidak lagi menerima uang tersebut. Untuk tahap awal, pihaknya sudah melakukan penyelesaian di enam daerah, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara, Jawa Timur dan DKI Jakarta.
KPK, lanjut Haryono, berharap Depdagri juga punya inisiatif untuk membantu penyelesaian ini. Sampai saat ini, katanya, belum ada satupun kepala daerah yang mengembalikan uang setoran itu. Menurutnya, jika ada pihak yang akan mengembalikan uang, agar mengembalikan ke kas daerah. "Bukan ke KPK," katanya.
Komitmen Kuat
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Saut Situmorang,mengatakan, sebagai pembina pengelola keuangan daerah, Kementerian Dalam Negeri akan mendalami persoalan tersebut. ”Jadi kita sedang mendalami kemungkinan kasus atau dugaan pemberian imbalan oleh BPD. Kami akan turun langsung ke daerah. Tentunya kami juga melihat peraturan yang masih relevan dengan hal itu,” katanya.
Peraturan yang dimaksud Saut adalah peraturan dari Bank Indonesia yang mendasari manajemen keuangan BPD. ”Hasil pendalaman dari kami tentu akan dikomunikasikan dengan pihak lain, seperti KPK, BI, dan Asosiasi BPD pada waktunya nanti,” ujarnya. Lebih lanjut Saut mengatakan, Kementerian Dalam Negeri menghormati semua proses yang dilakukan KPK. ”Dalam hal KPK hendak lakukan penyelidikan atas dugaan kasus itu, karena hal itu merupakan kewenangan KPK sesuai undang-undang dan kami menghormatinya,” ujarnya.
Namun, Saut mengungkapkan pada waktu yang bersamaan semua pihak tentu perlu menjaga atau tetap menjaga kelangsungan fungsi dan peran BPD dalam mendukung pembangunan daerah di semua wilayah. ”Artinya, ketika penyelidikan berlangsung kita menghormati itu, tetapi pada waktu yang bersamaan, kita juga menjaga supaya fungsi dan peran BPD dalam mendukung pembangunan daerah tetap berlangsung,” katanya.
Deputi Pengawasan Bank Indonesia Mulyaman Hadad mengatakan, pihaknya sudah melayangkan surat kepada seluruh BPD untuk menghentikan pemberian fee kepada kepala daerah. ”Ada MoU (nota kesepahaman) BI-KPK untuk melakukan identifikasi terkait dengan tipikor (tindak pidana korupsi),” jelas Mulyaman dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta.
Mulyaman mengaku, surat larangan memberi fee oleh bank kepada kepala daerah tersebut sudah disampaikan sejak Mei 2009. Surat itu sekaligus menegaskan bahwa pemberian fee tersebut bertentangan dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. ”Kami melakukan sosialisasi agar praktik yang tidak sejalan dengan perundang-undangan tidak dilakukan,” tandasnya.
BI juga akan menyurati bank lain untuk tidak memberikan fee tersebut. Untuk memperbaiki mekanisme di perbankan ini, KPK melibatkan BPKP. Selanjutnya, tugas BPKP membantu KPK melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh bank.
Selain enam bank di enam provinsi tersebut, saat ini KPK juga tengah memeriksa bank daerah di 27 provinsi lainnya. Selain itu, KPK juga mencari mekanisme untuk mengembalikan uang yang sudah telanjur diberikan kepada pejabat deerah. ”Mereka tidak berhak menikmati uang dan fasilitas itu karena itu punya negara dan pemerintah daerah. Oleh karena itu harus dikembalikan. Masalah apakah di sana terjadi tindak pidananya, sampai saat ini belum bisa disimpulkan karena kami akan lakukan pemeriksaan,” kata dia.
Haryono menegaskan, dengan mengembalikan uang tersebut, tidak serta merta akan terbebas dari unsur pidana.”Pengembalian uang imbalan tidak serta-merta menghapus unsur pidana.” Praktik pemberian imbalan, lanjut Haryono, terjadi karena lemahnya pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia. ”Kita belum melakukan kajian lengkap mengenai pengawasan perbankan, tapi ada persoalan-persoalan yang selama ini ditangani KPK terkait dengan masalah perbankan ini,” katanya. (septi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar